Tambang Pasir Ilegal di Klaten Terbongkar: Bareskrim Sebut Negara Rugi Rp1 Miliar dalam Dua Pekan
D'On, Jakarta — Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Bareskrim Polri berhasil membongkar aktivitas pertambangan pasir ilegal berskala besar yang beroperasi di wilayah Klaten, Jawa Tengah. Meskipun baru beroperasi selama dua minggu, praktik penambangan liar ini telah menyebabkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp1 miliar.
Seorang pria berinisial ACS, yang berperan sebagai koordinator lapangan dalam aktivitas ilegal ini, telah ditetapkan sebagai tersangka utama dan kini ditahan oleh kepolisian. Pengungkapan ini menjadi peringatan serius bahwa praktik pertambangan tanpa izin masih menjadi ancaman nyata terhadap sumber daya alam dan pendapatan negara.
Operasi Cepat, Kerugian Besar
Direktur Tipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Nunung Syaifuddin, mengungkapkan bahwa meskipun tambang ini baru berjalan selama 14 hari, jumlah pasir yang berhasil diambil dan dijual secara ilegal sangat besar, hingga menimbulkan kerugian signifikan.
“Baru dua minggu berjalan, tapi kerugian negara sudah mencapai satu miliar rupiah. Ini baru awal. Bisa dibayangkan kalau ini dibiarkan berjalan berbulan-bulan,” ujar Brigjen Nunung dalam konferensi pers yang digelar di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (11/6).
Brigjen Nunung juga menambahkan bahwa operasi ini menunjukkan betapa masif dan terorganisirnya aktivitas tambang ilegal di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya mineral, namun minim pengawasan.
Modus Operandi: Canggih tapi Ilegal
Dari hasil penyelidikan, diketahui bahwa ACS dan kelompoknya menggunakan peralatan berat dan kendaraan pengangkut untuk mengeruk pasir dari sungai dan lahan terbuka tanpa izin resmi. Hasil tambang kemudian dijual ke sejumlah pihak dengan harga yang bersaing, namun tanpa adanya kontribusi retribusi kepada negara ataupun daerah.
Praktik seperti ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merusak lingkungan secara permanen. Penambangan tanpa pengawasan cenderung mengabaikan aspek konservasi, menyebabkan erosi, pendangkalan sungai, dan kerusakan habitat lokal.
Jerat Hukum Menanti Pelaku
Dalam kasus ini, ACS dijerat dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta disangkakan melanggar Pasal 5 dan/atau Pasal 56 KUHP.
“Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp100 miliar,” tegas Brigjen Nunung.
Penahanan terhadap ACS juga telah dilakukan, dan pihak kepolisian masih terus mengembangkan kasus ini untuk membongkar jaringan yang lebih luas, termasuk kemungkinan keterlibatan pemodal besar maupun oknum yang membekingi kegiatan ilegal ini.
Tambang Ilegal: Luka Menganga di Tanah Air
Kasus ini bukan yang pertama, dan sayangnya bukan pula yang terakhir. Indonesia, yang kaya akan sumber daya alam, masih menghadapi tantangan besar dalam mengatasi aktivitas tambang tanpa izin. Keuntungan cepat dari menjual hasil tambang secara ilegal sering kali lebih menggoda daripada kepatuhan terhadap hukum.
Namun, pemerintah dan aparat penegak hukum semakin menunjukkan ketegasan mereka dalam membasmi praktik semacam ini. Pengungkapan kasus di Klaten ini menjadi contoh nyata bahwa kejahatan lingkungan tidak lagi bisa dianggap sepele.
Bareskrim Polri memastikan bahwa pengawasan dan penindakan terhadap tambang ilegal akan terus digencarkan, demi melindungi sumber daya negara dan kelestarian lingkungan bagi generasi mendatang.
"Penambangan liar bukan hanya soal kerugian ekonomi, tapi juga soal warisan lingkungan dan keadilan sosial. Ini bukan hanya tugas polisi, tapi panggilan bersama seluruh bangsa untuk menjaganya." Brigjen Pol. Nunung Syaifuddin
(Mond)
#TambangPasirIlegal #Hukum #BareskrimPolri