Suara Tembakan dan Merah Putih di Tengah Ketakutan: Gome Utara Bergolak, Warga Sipil Jadi Tameng Hidup
Warga Puncak membawa bendera Merah Putih di tengah konflik bersenjata di Distrik Gome, Kabupaten Puncak. (Istimewa/Istimewa)
D'On, Distrik Gome Utara, Papua Tengah — Suara dentuman senjata tak lagi terdengar asing bagi warga Distrik Gome Utara, Kabupaten Puncak. Hari-hari mereka kini dibayangi ketakutan, ketidakpastian, dan rasa terancam yang terus mengintai. Dalam kondisi penuh bahaya ini, secarik kain Merah Putih menjadi lebih dari sekadar simbol negara ia menjadi tameng hidup.
Sejak konflik bersenjata kembali memanas di kawasan pegunungan ini, masyarakat sipil berada dalam posisi yang sangat rentan. Tidak mampu melawan dan tak tahu harus berpihak kepada siapa, mereka memilih satu-satunya jalan untuk bertahan hidup: menunjukkan bahwa mereka adalah rakyat biasa, bukan bagian dari pihak manapun. Mereka mengibarkan bendera Merah Putih di tangan, di pundak, bahkan di atas kepala sebagai penanda: Kami rakyat Indonesia, jangan tembak kami.
“Bahkan saat mengungsi ke tempat yang lebih aman, masyarakat sipil tetap membawa atau mengibarkan bendera Merah Putih,” ungkap Melkias, warga Puncak, saat dihubungi Kamis (29/5/2025).
Kisah Melkias hanya satu dari banyak suara yang menggambarkan betapa gentingnya situasi di Gome Utara. Warga harus melintasi wilayah-wilayah yang kini dianggap sebagai zona merah, demi mencari tempat berlindung. Dentuman senjata menggelegar hampir setiap hari, menandai pertempuran antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata yang dikaitkan dengan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM).
Gereja Jadi Tempat Perlindungan
Dalam situasi yang memaksa ini, Gereja Katolik setempat telah berubah fungsi. Bukan hanya sebagai tempat ibadah, namun menjadi tempat pengungsian bagi ratusan warga yang memilih menyelamatkan diri ke wilayah Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak.
Namun tidak semua beruntung bisa mengungsi. Banyak yang masih terjebak di kampung-kampung asal mereka, tak mampu bergerak karena konflik yang terus menyelimuti wilayah sekitar. Jalan-jalan menuju tempat aman bukan lagi sekadar jalur tanah atau hutan lebat, tetapi juga jalur penuh risiko bisa menjadi tempat baku tembak sewaktu-waktu.
“Mereka mengalami trauma dan saya sebagai kepala dinas tidak bisa memberikan jaminan makan minum. Saya meminta dukungan,” ujar Asker Tabuni, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Puncak, Senin (26/5/2025).
Asker mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menyalurkan bantuan bahan makanan untuk warga yang mengungsi ke Ilaga. Namun, ia juga menekankan bahwa tanggung jawab ini terlalu berat untuk ditanggung sendiri oleh pemerintah daerah. Ada keterbatasan sumber daya dan kapasitas, apalagi dalam kondisi darurat seperti ini.
Panggilan dari Tokoh Gereja: "Ini Jemaat Kami, Bukan Pemberontak"
Sementara itu, seruan datang dari kalangan gereja. Tokoh agama dan pemimpin jemaat, Pendeta Hansk Wakerwa, menyampaikan seruan hati yang menggugah. Ia meminta agar pemerintah pusat membuka mata dan hati terhadap tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung di Papua Tengah.
“Mereka adalah jemaat saya. Saya mohon Pemerintah RI melihat ini dengan baik dan memberikan perhatian khusus,” ucap Pendeta Wakerwa penuh harap.
Ia menegaskan bahwa banyak dari warga yang menjadi korban bukanlah bagian dari kelompok bersenjata, melainkan warga sipil biasa, orang-orang yang ia kenal baik dan layani sebagai pendeta.
Merah Putih di Antara Peluru: Simbol Harapan dan Keputusasaan
Apa yang terjadi di Gome Utara saat ini adalah cermin dari betapa rapuhnya kehidupan sipil di tengah konflik yang tak kunjung padam. Pengibaran Merah Putih yang biasanya identik dengan kemerdekaan dan nasionalisme kini menjadi isyarat putus asa. Sebuah simbol yang mereka harap dapat menyelamatkan nyawa.
Di balik setiap kain Merah Putih yang dikibarkan oleh warga sipil Papua Tengah, tersembunyi kisah ketakutan, ketabahan, dan harapan. Harapan agar negara yang benderanya mereka kibarkan mau datang melindungi, bukan sekadar menonton dari kejauhan.
Situasi di Gome Utara bukan hanya soal perang antara dua kekuatan bersenjata, tapi juga soal nyawa-nyawa tak berdosa yang terjebak di antara peluru dan propaganda. Mereka hanya ingin hidup, membesarkan anak-anak mereka, dan beribadah dengan tenang. Dan saat ini, mereka hanya punya satu perisai: bendera Merah Putih dan doa.
(Mond)
#KKB #Peristiwa #Penembakan