Denda Perusahaan Perusak Lingkungan di Balik Banjir Sumatera: Negara Menagih, Alam Masih Menanggung

Limbah kayu dan kayu gelondongan yang terbawa arus akibat banjir bandang telah menumpuk di sejumlah lokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
D'On, Jakarta - Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar bencana alam. Ia adalah akumulasi panjang dari pembiaran kerusakan hutan, eksploitasi kawasan lindung, dan tata kelola lingkungan yang pincang. Kini, setelah ribuan korban jatuh dan kerusakan meluas, negara mulai menagih pertanggungjawaban namun pertanyaan besarnya: apakah cukup dengan denda?
Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) tengah menghitung kerugian negara dan lingkungan akibat bencana ekologis tersebut. Perhitungan ini akan menjadi dasar penagihan kewajiban kepada perusahaan sawit dan tambang yang terbukti melanggar hukum dalam pengelolaan kawasan hutan.
Juru Bicara Satgas PKH, Barita Simanjuntak, menegaskan penghitungan tidak semata kerusakan fisik, tetapi mencakup dampak ekologis dan sosial secara luas.
“Kerugian ini mencakup kerusakan lingkungan, fasilitas umum, fasilitas publik, hingga infrastruktur. Semua akan menjadi kewajiban korporasi yang terbukti melanggar,” ujar Barita, Selasa (23/12/2025).
Langkah ini menandai upaya negara mengaitkan langsung bencana dengan kejahatan lingkungan, sesuatu yang selama ini kerap dihindari.
Dari Denda ke Pidana: Korporasi Mulai Disasar
Tak berhenti pada sanksi administratif, Satgas PKH juga membuka pintu penegakan hukum pidana. Penyelidikan tengah dilakukan untuk menelusuri apakah terdapat unsur kejahatan lingkungan, siapa pihak yang bertanggung jawab, dan apakah perbuatan tersebut dilakukan secara sistematis.
“Sedang ditelusuri apakah ada perbuatan pidana, siapa yang bertanggung jawab, dan itu masuk tahap penyelidikan dan penyidikan,” kata Barita.
Secara hukum, pemerintah berdiri di atas landasan yang relatif kuat. Pengenaan denda administratif merujuk pada PP Nomor 45 Tahun 2025, perubahan atas PP Nomor 24 Tahun 2021, yang mengatur sanksi dan denda administratif di bidang kehutanan. Regulasi ini berlaku sebelum banjir terjadi, sehingga menutup celah pembelaan bahwa penindakan bersifat reaktif.
Namun Barita menegaskan, denda bukan satu-satunya kewajiban.
“Ini bukan hanya soal denda administratif, tetapi juga kewajiban pemulihan keadaan dan pemulihan lingkungan,” tegasnya.
Penghitungan kewajiban dilakukan bersama BPKP, mengacu pada regulasi kehutanan, pertambangan, dan lingkungan hidup.
71 Korporasi Disorot, Triliunan Rupiah Dipertaruhkan
Sebelum banjir Sumatera terjadi, Satgas PKH telah mengumumkan 71 korporasi yang diduga melanggar hukum terdiri dari 49 perusahaan sawit dan 22 perusahaan tambang. Seluruhnya telah dipanggil untuk memenuhi kewajiban.
Hasilnya beragam:
- Sebagian telah membayar,
- Sebagian mengajukan keberatan,
- Sebagian lainnya bahkan belum memenuhi panggilan.
Negara juga mengklaim telah menguasai kembali sekitar 3,8 juta hektare kawasan hutan ilegal. Dari jumlah itu, 1,5 juta hektare diserahkan kepada BUMN Agrinas Palma Nusantara untuk dikelola.
Di sektor konservasi, lebih dari 81.700 hektare, termasuk kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup.
Dari sisi penerimaan negara:
- Sektor sawit: Rp 1,76 triliun telah dibayar, ditambah komitmen Rp 83,3 miliar.
- Sektor tambang: Rp 500 miliar telah masuk, dengan pernyataan kesanggupan bayar lebih dari Rp 3,2 triliun.
“Angkanya masih bisa berubah. Yang kami pastikan, kewajiban harus sepadan dengan kerusakan,” ujar Barita.
Namun, sejarah penegakan hukum lingkungan menunjukkan angka besar tidak selalu berbanding lurus dengan pemulihan nyata.
DPR Dukung, Tapi Peringatan Datang dari Akademisi
Dukungan politik datang dari DPR. Anggota Komisi IV DPR Johan Rosihan (PKS) menegaskan sanksi tidak boleh setengah-setengah.
“Sanksi administratif, denda lingkungan, pemulihan ekosistem, hingga pencabutan izin harus menjadi satu paket. Prinsipnya polluter pays,” katanya.
Senada, Daniel Johan (PKB) menyebut negara memiliki mekanisme menjerat pelaku, baik pidana maupun administratif, untuk mengganti kerugian masyarakat.
Namun peringatan keras datang dari Guru Besar Hukum Lingkungan UI, Prof. Dr. Andri Gunawan Wibisana. Ia mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kegagalan penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Dari 29 gugatan pemerintah yang dimenangkan sejak 2013, hanya dua yang benar-benar dibayar,” ungkap Andri.
Lebih parah, uang yang dibayarkan perusahaan tidak pernah digunakan untuk memulihkan lingkungan.
“Uangnya masuk sebagai PNBP. Tidak ada pemulihan. Akibatnya, karhutla berulang di lokasi yang sama,” tegasnya.
Menurut Andri, mekanisme penghitungan kerugian lingkungan saat ini lebih fokus pada angka, bukan rencana pemulihan konkret. Dalam praktik, perusahaan kerap memilih membayar tanpa memulihkan, atau sebaliknya.
Ia juga menyoroti penyelesaian di luar pengadilan yang tidak transparan.
“Kita tidak tahu berapa perusahaan yang menyelesaikan di luar pengadilan, berapa nilainya, dan dipakai untuk apa,” katanya.
Walhi: Jangan Kambinghitamkan Rakyat Kecil
Kritik tajam datang dari Walhi. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arta Siagian, menilai penegakan hukum sering salah sasaran.
“Jangan sampai individu pemegang hak atas tanah 10 sampai 40 hektare disasar, sementara korporasi besar lolos,” ujarnya.
Di Sumatera Utara, dari 7–8 entitas yang diperiksa KLH, lima di antaranya adalah PHAT individu, bukan perusahaan besar.
Walhi menilai pendekatan negara masih berorientasi bisnis, bukan pemulihan. Penyerahan jutaan hektare kebun sawit ilegal kepada BUMN tanpa agenda restorasi dinilai problematik.
“Negara mengambil alih, tapi bukan untuk memulihkan—justru dikelola kembali. Ini menunjukkan tidak adanya keberpihakan pada pemulihan ekologi,” tegas Uli.
Ia juga mengkritik masifnya penerbitan izin kehutanan HTI, logging, hingga PBPH yang kini mencakup sekitar 30 juta hektare kawasan hutan.
Pengawasan lemah membuat kewajiban tebang pilih diabaikan. Kawasan curam dan bernilai konservasi tinggi ikut digunduli.
“Semua diameter pohon ditebang. Di kelerengan mana pun. Ini pemicu bencana ekologis,” kata Uli.
Antara Tagihan Negara dan Luka Alam
Kasus banjir Sumatera membuka satu kenyataan pahit: kerusakan ekologis bukan kecelakaan, melainkan hasil kebijakan. Negara kini menagih denda triliunan rupiah, tetapi tanpa jaminan pemulihan, angka-angka itu berisiko menjadi sekadar pemasukan negara.
Pertanyaannya bukan lagi apakah perusahaan harus membayar, melainkan apakah negara berani memastikan alam benar-benar dipulihkan. Tanpa perubahan paradigma dari eksploitatif menjadi restoratif bencana serupa hanya menunggu waktu untuk terulang, dengan korban yang kembali jatuh dari masyarakat, bukan dari para perusak.
(B1)
#BencanaSumatera #Nasional #KerusakanLingkungan