Breaking News

Dari Panas Terik ke Hujan Deras, Mengapa Cuaca Akhir-akhir Ini Sulit Diprediksi?

Ilustrasi Cuaca Tak Menentu 

Dirgantaraonline
— Pagi hari matahari menyengat tanpa ampun, suhu terasa menyusup hingga ke kulit. Namun belum genap matahari tenggelam, langit mendadak menghitam dan hujan deras turun disertai angin kencang. Fenomena perubahan cuaca ekstrem dalam hitungan jam ini kian sering dirasakan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa kondisi cuaca ekstrem masih berpotensi terjadi dalam beberapa hari ke depan. Berdasarkan analisis dinamika atmosfer, fenomena ini dipengaruhi oleh aktivitas gelombang atmosfer tropis seperti Madden Julian Oscillation (MJO), Kelvin Wave, dan Rossby Wave yang berinteraksi dengan sirkulasi siklonik di Samudera Hindia, khususnya di barat daya Sumatera serta wilayah selatan Jawa Timur hingga Bali.

Atmosfer yang “Tidak Stabil”

Secara ilmiah, cuaca ekstrem yang sulit diprediksi ini berakar pada ketidakstabilan atmosfer. Ketika suhu permukaan bumi meningkat, udara hangat yang lebih ringan akan naik dengan cepat ke atmosfer atas. Proses ini memicu pembentukan awan konvektif, khususnya awan Cumulonimbus, yang dikenal sebagai “pabrik hujan ekstrem”.

“Panas yang tinggi di pagi hingga siang hari menyimpan energi besar di atmosfer. Saat kondisi pendukung terpenuhi, energi ini dilepaskan dalam bentuk hujan lebat, kilat, petir, dan angin kencang,” jelas BMKG dalam keterangan resminya.

Kondisi ini membuat cuaca menjadi sangat lokal dan cepat berubah, sehingga wilayah yang pagi harinya cerah dapat mengalami hujan deras hanya dalam selang waktu satu hingga dua jam.

Jejak Perubahan Iklim Global

Namun, faktor alam bukan satu-satunya penyebab. Para klimatolog menegaskan bahwa perubahan iklim akibat aktivitas manusia memperparah intensitas dan frekuensi cuaca ekstrem.

Peningkatan emisi gas rumah kaca dari sektor industri, transportasi, serta pembakaran hutan dan lahan menyebabkan suhu rata-rata bumi terus naik. Data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa setiap kenaikan suhu 1°C dapat meningkatkan kemampuan udara menampung uap air hingga 7 persen. Artinya, ketika hujan turun, volumenya menjadi jauh lebih besar.

Selain itu, alih fungsi lahan—seperti penggundulan hutan dan urbanisasi masif—mengurangi daya serap tanah terhadap air hujan. Akibatnya, hujan deras lebih mudah memicu banjir, longsor, dan genangan di kawasan perkotaan.

“Cuaca ekstrem yang kini kita rasakan bukan lagi anomali, melainkan bagian dari pola baru iklim,” tulis sejumlah peneliti iklim dalam jurnal Nature Climate Change.

Dampak Nyata di Kehidupan Sehari-hari

Perubahan cuaca yang cepat membawa dampak langsung bagi masyarakat. Sektor pertanian menghadapi risiko gagal panen akibat hujan di luar musim. Di sisi lain, meningkatnya kejadian banjir dan longsor mengancam keselamatan warga, terutama di daerah rawan bencana.

Tak hanya itu, perubahan cuaca ekstrem juga berdampak pada kesehatan. Fluktuasi suhu yang tajam meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), sementara genangan air pascahujan menjadi tempat berkembangnya nyamuk penyebab demam berdarah.

Anak Muda dan Gerakan Lingkungan

Di tengah ancaman tersebut, kesadaran publik—khususnya generasi muda—mulai tumbuh. Fenomena cuaca ekstrem justru menjadi pemantik lahirnya berbagai gerakan lingkungan berbasis komunitas dan digital. Salah satunya adalah Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan).

Diinisiasi oleh Bakti Lingkungan Djarum Foundation sejak 2018, Siap Darling berfokus pada edukasi lingkungan dan aksi nyata pelestarian alam. Gerakan ini memanfaatkan platform digital untuk menjangkau anak muda, mengemas isu lingkungan dalam bahasa yang relevan, ringan, dan mudah dipahami.

Program-programnya meliputi:

  • edukasi perubahan iklim dan pengelolaan sampah,
  • aksi penanaman pohon dan rehabilitasi ekosistem,
  • kampanye pengurangan plastik sekali pakai,
  • hingga pelibatan relawan muda dalam kegiatan konservasi.

Pendekatan ini dinilai efektif karena tidak hanya membangun pengetahuan, tetapi juga mendorong perubahan perilaku.

Membangun Ketahanan Iklim Bersama

Para ahli menekankan bahwa adaptasi dan mitigasi harus berjalan beriringan. Di satu sisi, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem dengan mengikuti informasi resmi BMKG. Di sisi lain, upaya jangka panjang seperti pengurangan emisi, perlindungan hutan, dan pembangunan berkelanjutan mutlak diperlukan.

Gerakan seperti Siap Darling menunjukkan bahwa solusi perubahan iklim tidak selalu harus dimulai dari kebijakan besar, tetapi juga dari kesadaran individu dan komunitas. Ketika generasi muda terlibat aktif, upaya menjaga lingkungan bukan sekadar wacana, melainkan gerakan kolektif.

Cuaca yang kian sulit diprediksi sejatinya adalah peringatan. Alam sedang “berbicara” melalui panas terik dan hujan deras yang datang silih berganti. Pertanyaannya kini, apakah manusia siap mendengarkan dan bertindak sebelum dampaknya kian tak terelakkan?

(***)

#Sains #CuacaEkstrim