Banjir Sumatera Tak Berstatus Bencana Nasional, Namun Penanganannya Bergerak dalam Skala Nasional

Foto udara permukiman warga terdampak banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). Foto: Yudi Manar
D'On, Jakarta - Respons pemerintah terhadap banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dinilai menandai perubahan penting dalam cara Indonesia mengelola risiko bencana. Meski status bencana tidak dinaikkan menjadi bencana nasional, operasi penanganannya tampil selevel nasional dari pola koordinasi hingga intensitas pengerahan sumber daya negara.
Pengamat politik Iwan Setiawan menyebut apa yang terjadi di Sumatera sebagai “orchestration mode” negara bekerja dalam satu nafas, tanpa menunggu eskalasi status administratif.
“Yang kita lihat di Sumatera adalah bagaimana seluruh elemen negara bergerak dalam ritme yang sama. Mobilisasi Hercules dan A400M, kerja paralel BNPB, TNI–Polri, Kemensos, Kemenko PMK, hingga pemerintah daerah semuanya menunjukkan manajemen risiko kita telah masuk fase baru yang lebih adaptif dan terintegrasi,” ujar Iwan, Sabtu (29/11).
Instruksi Tunggal yang Menggerakkan Seluruh Lini
Iwan menilai kecepatan respons tak lepas dari instruksi langsung Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan keselamatan rakyat di garis terdepan. Menurutnya, komando tersebut membuat setiap instansi tak lagi saling menunggu, tetapi langsung mengaktifkan standar operasi masing-masing.
“Begitu instruksi Presiden turun, semua sektor bergerak. Tidak ada jeda, tidak ada instansi yang menunggu lampu hijau dari yang lain,” tegas Iwan.
Di lapangan, pergerakan itu terlihat nyata: pesawat Hercules membawa logistik ke wilayah terisolasi, unit zeni TNI membuka akses jalan yang terputus, BNPB mendirikan posko terpadu, sementara Kemensos mengaktifkan dapur umum lapangan dengan kapasitas ribuan porsi per hari.
Pergeseran Paradigma: Dari Respons → Mitigasi Berbasis Risiko
Menurut Iwan, pola kerja yang muncul dalam penanganan banjir Sumatera mencerminkan pergeseran mendasar dari response-based management menuju risk-based management. Pemerintah tidak hanya menangani dampak, tetapi menghitung potensi risiko lanjutan sejak hari pertama.
“Pemerintah kini mempertimbangkan stabilitas sosial, perlindungan kelompok rentan, dan pencegahan risiko susulan. Itu semua dilakukan sebelum situasi memburuk. Pendekatan ini adalah arah baru manajemen risiko nasional,” paparnya.
Langkah ini terlihat pada percepatan pendistribusian bantuan ke daerah rawan kelangkaan pangan, pengiriman tenaga kesehatan untuk mencegah peningkatan penyakit pascabanjir, hingga pemetaan titik rawan longsor oleh PUPR dan Basarnas.
Penanganan Tidak Menunggu Status
Meski bencana ini tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, Iwan menilai kualitas orkestrasi penanganannya justru menunjukkan level kerja yang setara.
“Status tidak membatasi. Yang terlihat adalah negara bekerja serempak. Pusat dan daerah berjalan simultan dari evakuasi, pendirian posko, pemulihan akses wilayah terisolasi, hingga mobilisasi logistik berskala besar,” jelasnya.
Di beberapa titik di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, akses darat telah pulih melalui pengerahan alat berat gabungan, sementara jalur udara dimaksimalkan untuk suplai darurat ke wilayah yang belum bisa dijangkau.
Tantangan Selanjutnya: Konsistensi dan Pemulihan Jangka Panjang
Baik pemerintah pusat maupun daerah kini memasuki fase kedua: pemulihan jangka panjang. Iwan mengingatkan, tantangannya bukan hanya memulihkan infrastruktur, tetapi juga mengawal stabilitas sosial dan ekonomi pascabencana, termasuk memastikan kelompok rentan mendapatkan dukungan berkelanjutan.
“Fase tanggap darurat adalah ujian kecepatan. Fase pemulihan adalah ujian ketelitian,” kata Iwan.
(K)
#BanjirPulauSumatera #BencanaAlam