BGN Copot Kepala SPPG Usai Ratusan Siswa Keracunan Program Makan Bergizi Gratis
Ratusan Siswa Keracunan MBG
D'On, Bandung Barat – Gelombang keracunan massal yang menimpa ratusan siswa sekolah dasar di Kabupaten Bandung Barat menjadi pukulan telak bagi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah digalakkan pemerintah. Badan Gizi Nasional (BGN) bergerak cepat mengambil langkah tegas dengan mencopot Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) serta menutup sementara lembaga tersebut hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Keputusan ini diumumkan langsung oleh Wakil Kepala BGN, Naniek S. Deyang, dalam konferensi pers pada Kamis (25/9/2025). Ia menegaskan bahwa insiden keracunan ini tidak boleh dipandang sebelah mata karena MBG merupakan salah satu program prioritas nasional yang dirancang untuk memperbaiki kualitas gizi anak-anak Indonesia.
“SPPG ditutup, Kepala SPPG dinonaktifkan. Kami juga sudah melibatkan kepolisian. Bila nanti hasil uji laboratorium makanan sampel terbukti mengandung zat berbahaya atau ada unsur kesengajaan, kasus ini akan diproses pidana,” ujar Naniek dengan nada tegas.
Pelanggaran SOP Jadi Biang Kerok
Dari hasil investigasi awal, BGN menemukan adanya pelanggaran fatal terhadap standar operasional prosedur (SOP) pengolahan makanan. Makanan yang dikonsumsi oleh para siswa ternyata disajikan setelah lebih dari enam jam sejak proses pemasakan—jauh di luar aturan keamanan pangan yang berlaku.
Naniek menjelaskan bahwa dalam aturan BGN, makanan yang sudah dimasak harus segera dikonsumsi dalam waktu maksimal enam jam. Jika jadwal penyajian dilakukan pada pagi hari, maka proses memasak seharusnya dilakukan dini hari agar makanan tetap aman.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda.
“Ada pengakuan dari pihak dapur, mereka memasak sejak pukul 8 atau 9 malam, bahkan ada yang sebelum tengah malam. Makanan itu baru disantap siswa pada pukul 9 pagi keesokan harinya. Itu artinya sudah lebih dari 9–12 jam sejak dimasak. Jelas terjadi kesalahan SOP,” ungkapnya.
Kesalahan ini membuka celah pertumbuhan bakteri berbahaya dalam makanan, yang kemudian menyebabkan keracunan massal.
Ratusan Siswa Jadi Korban
Insiden yang terjadi pada awal pekan ini menimbulkan kepanikan di sejumlah sekolah di Bandung Barat. Ratusan siswa mengalami gejala keracunan seperti mual, muntah, diare, hingga pusing beberapa saat setelah menyantap menu MBG.
Puluhan di antaranya bahkan harus mendapatkan perawatan intensif di puskesmas dan rumah sakit terdekat. Meski sejauh ini tidak ada laporan korban jiwa, namun kasus tersebut cukup untuk memicu keresahan orang tua dan masyarakat luas terkait keamanan makanan program MBG.
Evaluasi Menyeluruh Program MBG
Naniek menegaskan bahwa BGN tidak hanya berhenti pada pencopotan pejabat SPPG. Evaluasi menyeluruh akan dilakukan, termasuk proses pengadaan bahan, pengawasan distribusi, hingga teknik pengolahan makanan.
Pihaknya juga berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, aparat kepolisian, serta lembaga pengawas pangan untuk memastikan kasus serupa tidak kembali terulang.
“Program MBG ini bertujuan mulia, yakni memastikan anak-anak kita tidak hanya kenyang tapi juga bergizi. Karena itu, setiap celah kelalaian, apalagi yang membahayakan nyawa anak, tidak bisa ditoleransi,” tegasnya.
Kekhawatiran Orang Tua dan Tuntutan Transparansi
Pasca kejadian ini, banyak orang tua siswa mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam pengawasan program MBG. Beberapa di antaranya bahkan meminta agar makanan MBG dihentikan sementara sampai ada jaminan keamanan yang lebih jelas.
Sejumlah pakar gizi juga angkat bicara, menilai kasus ini sebagai alarm keras agar standar keamanan pangan tidak hanya sekadar dokumen, melainkan benar-benar dipatuhi di lapangan.
Kasus keracunan massal akibat kelalaian pengolahan makanan MBG di Bandung Barat ini menjadi ujian berat bagi BGN. Selain menyangkut kredibilitas program pemerintah, insiden ini juga mempertaruhkan kepercayaan publik. Kini, masyarakat menanti langkah konkret pemerintah: apakah kejadian ini akan menjadi titik balik penguatan program gizi nasional, atau justru meninggalkan trauma mendalam di kalangan orang tua dan siswa.
(Okz)