Tokoh Adat Riau Ditangkap karena Jual Lahan Taman Nasional Tesso Nilo: Klaim Tanah Ulayat, Raup Keuntungan dari Surat Hibah
Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan memberikan keterangan pers penangkapan tokoh adat di Riau yang menjual lahan hutan Taman Nasional Tesso Nillo. Foto: Dok. Istimewa
D'On, Pekanbaru, Riau – Seorang tokoh adat berpengaruh di Provinsi Riau, berinisial JS, kini harus berurusan dengan hukum setelah aparat Kepolisian Daerah (Polda) Riau mengungkap peran sentralnya dalam kasus penjualan lahan ilegal di kawasan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). JS diduga kuat menjual lahan hutan yang dilindungi negara dengan mengatasnamakan tanah ulayat adat.
Penangkapan JS merupakan hasil pengembangan dari penyelidikan kasus perambahan hutan TNTN yang mencuat sejak Februari 2025. Dalam pernyataan resmi, Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan menegaskan bahwa tindakan JS merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap hukum dan perlindungan lingkungan hidup.
“Pelaku ditangkap karena menjual kawasan hutan, ia berdalih bahwa itu tanah ulayat,” ujar Irjen Herry dalam konferensi pers, Senin (23/6/2025). “Padahal kawasan itu merupakan bagian dari konservasi negara yang dilindungi undang-undang.”
Dijual dengan Surat Hibah, Disulap Jadi Kebun Sawit
Kasus ini mulai terbongkar ketika seorang warga berinisial DY ditangkap karena membeli lahan seluas 20 hektare dari JS. DY bukan hanya membeli, tapi juga telah mengubah kawasan hutan itu menjadi kebun sawit yang kini telah berusia satu tahun.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Riau, Kombes Pol Ade Kuncoro Ridwan, DY menerima "hibah" lahan dari JS dengan imbalan sejumlah uang. Dari pemeriksaan, JS bahkan diketahui telah menjual ratusan bidang tanah dengan modus serupa.
“DY mengaku membeli lahan sejak 2023. JS membuatkan surat hibah untuknya. Dari setiap transaksi 10 hektare, JS memperoleh keuntungan Rp5 juta,” ungkap Kombes Ade.
Lebih lanjut, aparat menemukan bahwa JS telah menerbitkan setidaknya 200 surat hibah untuk lahan-lahan yang berada dalam atau di sekitar kawasan TNTN. Luasan masing-masing lahan bervariasi, mulai dari 2 hingga 10 hektare. Seluruh lahan ini disebut JS sebagai bagian dari “tanah ulayat adat” yang menurut pengakuannya, mencapai 113.000 hektare jauh lebih luas dari total luas Taman Nasional Tesso Nilo yang hanya sekitar 81.000 hektare.
Klaim Tanah Adat: Alat Legitimasi atau Kedok Penjarahan Hutan?
Klaim tanah ulayat kerap kali menjadi senjata dua sisi dalam konflik agraria di tanah air. Di satu sisi, pengakuan tanah adat memang memiliki dasar historis dan kultural yang kuat. Namun dalam kasus ini, aparat menilai klaim tersebut dimanipulasi sebagai legitimasi untuk menjual kawasan konservasi secara ilegal.
“Apa yang dilakukan tersangka bukan lagi soal tradisi atau hak adat. Ini murni penjarahan terhadap alam kita. Tesso Nilo bukan hanya paru-paru dunia, tapi juga rumah bagi satwa langka seperti gajah Sumatra — Domang dan Tari, misalnya,” tegas Irjen Herry.
Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo selama ini dikenal sebagai salah satu benteng terakhir keanekaragaman hayati di Riau. Namun kondisinya semakin terancam akibat perambahan dan pembukaan kebun ilegal, terutama untuk komoditas kelapa sawit.
Jejak Perdagangan Gelap Lahan Konservasi
Dalam penyelidikan, polisi menemukan pola peredaran surat hibah yang cukup sistematis. JS memanfaatkan posisinya sebagai tokoh adat untuk meyakinkan calon pembeli, menerbitkan surat hibah, dan menerima pembayaran tunai. Lahan yang ditawarkan mencakup area hutan primer dan sekunder di dalam zona konservasi.
“Modus ini sangat berbahaya. Kami khawatir masih banyak pihak lain yang terlibat. Kami akan terus mengembangkan kasus ini untuk membongkar jaringan penjualan lahan ilegal ini sampai ke akarnya,” ujar Kombes Ade.
Selain JS dan DY, penyidik kini tengah menelusuri penerima surat hibah lain serta kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain termasuk oknum aparat atau tokoh masyarakat yang bersekongkol dalam transaksi ilegal tersebut.
Ancaman Serius terhadap Konservasi
Kasus ini kembali menjadi pengingat betapa rentannya kawasan konservasi di Indonesia terhadap eksploitasi, terutama ketika hukum berhadapan dengan kekuatan informal seperti otoritas adat. Meski undang-undang telah menetapkan kawasan hutan sebagai wilayah lindung yang tidak boleh diperjualbelikan, praktik di lapangan kerap berkata lain.
Polisi memastikan bahwa proses hukum akan berjalan tegas dan tanpa pandang bulu. Kapolda menegaskan bahwa siapa pun yang terlibat akan ditindak.
“Kami tidak akan berhenti di JS. Penjarahan hutan adalah kejahatan serius, bukan hanya terhadap negara tapi juga terhadap generasi masa depan,” pungkas Irjen Herry.
Catatan: Kasus JS membuka babak baru dalam diskusi seputar tanah adat versus perlindungan lingkungan. Masyarakat adat memiliki hak yang harus dihormati, namun ketika klaim adat dijadikan alat untuk merusak alam, penegakan hukum harus berjalan dengan tegas dan adil.
(Mond)
#Hukum #PenjualanLahanIlegal #Hutan #Riau