Breaking News

Ini Pertimbangan MK Putuskan Jadwal Pemilu Berubah: Pilkada dan Pileg DPRD Digelar 2 Tahun Setelah Pelantikan Presiden

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kiri) didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kanan) memimpin sidang uji materi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (23/6/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA

D'On, Jakarta —
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan penting yang akan mengubah wajah pemilu nasional dan daerah Indonesia ke depan. Dalam putusan yang dibacakan Kamis (26/6/2025), MK menyatakan bahwa Pemilu Legislatif untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan digabung pelaksanaannya dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tidak hanya itu, pemungutan suara gabungan ini harus diselenggarakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua tahun enam bulan setelah presiden dan wakil presiden hasil pemilu dilantik.

Keputusan MK ini tertuang dalam putusan uji materi nomor 135/PUU-XXII/2024 terhadap dua undang-undang: UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur Pilkada. Putusan ini sekaligus mengakhiri model pemilu serentak lima kotak suara yang selama ini dijalankan: satu waktu untuk memilih presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Mengapa Sistem Pemilu Diubah? Ini Pertimbangan Mahkamah

Dalam pembacaan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa pemisahan waktu antara pemilu nasional dan pemilu daerah ini didasarkan pada kebutuhan akan transisi yang tertib dan terukur, terutama menyangkut masa jabatan hasil pemilu 2024. Menurut Saldi, pelaksanaan Pileg dan Pilkada di tahun yang sama seperti yang terjadi pada 2024 telah menyebabkan beban logistik dan administratif yang luar biasa serta menimbulkan banyak persoalan teknis dan politik di lapangan.

"Maka penentuan masa transisi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk merekayasa secara konstitusional masa jabatan anggota DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota sesuai prinsip peralihan," ujar Saldi di ruang sidang Gedung MK, Jakarta.

Lebih lanjut, Saldi mengungkap bahwa pelaksanaan Pileg DPR RI, DPD, dan Pilpres yang terlalu dekat dengan Pilkada dan Pileg DPRD menyebabkan ketidaktertiban penyelenggaraan, ketumpangtindihan agenda politik, dan potensi kelelahan pemilih maupun petugas pemilu.

Mulai 2029: Pemilu Nasional dan Daerah Tidak Lagi Serentak

MK menegaskan bahwa mulai Pemilu 2029, sistem pemilu akan diubah. Pemilu untuk memilih presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD akan dilaksanakan terlebih dahulu. Lalu, dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan hasil pemilu nasional tersebut, baru dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakilnya) secara serentak.

Dengan putusan ini, maka Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat — kecuali ditafsirkan sebagaimana bunyi putusan MK.

Jeda Dua Tahun: Menata Ulang Demokrasi Lokal

Menurut MK, jeda waktu paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan presiden dan wakil presiden atau anggota DPR/DPD menjadi langkah penting untuk menciptakan penataan demokrasi lokal yang lebih stabil. Jeda ini dinilai perlu agar tahapan pemilu nasional benar-benar tuntas sebelum masuk ke tahapan pemilu daerah.

Saldi Isra menjelaskan bahwa pelantikan presiden dan wakil presiden bisa dianggap sebagai penanda akhir dari tahapan pemilu nasional. Oleh karena itu, waktu itulah yang menjadi titik awal untuk menghitung jeda menuju penyelenggaraan Pilkada dan Pileg DPRD.

"Sehingga pemungutan suara untuk DPRD dan kepala daerah dilaksanakan dalam rentang waktu 2 hingga 2,5 tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden atau anggota DPR/DPD," kata Saldi.

MK: Sistem Lama Tidak Ideal untuk Demokrasi yang Sehat

MK juga menyoroti bahwa model pemilu serentak lima kotak suara yang selama ini dijalankan belum mampu mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat, efisien, dan menjamin kedaulatan rakyat secara penuh.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut bahwa pengaturan dalam undang-undang sebelumnya belum sepenuhnya selaras dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan (5), serta prinsip kesetaraan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Dampak dan Tantangan ke Depan

Putusan ini akan membawa konsekuensi besar dalam sistem pemilu Indonesia. Selain menyangkut desain ulang tahapan pemilu, pengaturan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD juga akan perlu disesuaikan, termasuk kemungkinan perpanjangan atau pemendekan masa jabatan untuk menyesuaikan waktu pelaksanaan pemilu berikutnya.

Bagi partai politik, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil, perubahan ini memerlukan adaptasi serius. Perlu dipastikan bahwa jeda dua tahun tersebut benar-benar digunakan untuk membangun sistem yang lebih matang, memperkuat partisipasi publik, serta menjamin penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan berintegritas.

Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk memisahkan waktu antara pemilu nasional dan pemilu daerah merupakan langkah besar dalam penataan demokrasi Indonesia. Dengan adanya jeda waktu antara keduanya, diharapkan dinamika politik lokal dapat lebih fokus, pemilih tidak kelelahan, dan penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk bekerja dengan efisien dan profesional.

Putusan ini tidak hanya teknis, tetapi menyangkut arah masa depan demokrasi Indonesia yang lebih terencana, partisipatif, dan berkeadilan.

(Mond)

#PutusanMK #MahkamahKonstitusi #Nasional #Pilpres #Pilkada #DPR #DPRD