Ibu Persit Jadi Korban Penipuan QRIS Modus Bukti Transfer Palsu: Kerugian Rp 500 Juta, Laporan Mandek di Polres Mentawai
Seorang Istri TNI Tertipu Transfer Via Qris
D'On, Mentawai, Sumatera Barat — Seorang ibu rumah tangga yang juga merupakan istri perwira aktif TNI Angkatan Darat (AD) menjadi korban penipuan dengan modus bukti transfer QRIS palsu. Ironisnya, penipuan ini berlangsung hampir satu tahun penuh tanpa terdeteksi, dan kerugiannya pun mencapai angka fantastis: Rp 500 juta.
Korban yang diketahui berinisial WSP (44), dikenal sebagai salah satu anggota Persit Kartika Chandra Kirana dan memiliki tiga toko sembako di kawasan Jalan Raya Tuapejat KM 3,5, Dusun Turonia, Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Namun harapannya untuk mendapatkan keadilan setelah melapor ke pihak kepolisian pada 15 Januari 2025 lalu justru menemui jalan terjal. Hingga enam bulan berlalu, belum ada satu pun terlapor yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kepulauan Mentawai, meski bukti dan keterangan telah diserahkan secara lengkap.
Modus Tipu-Tipu Lewat QRIS
Kepada awak media, WSP menceritakan bagaimana dirinya bisa terjerat dalam penipuan berkedok bukti transaksi QRIS. Penipuan tersebut tidak dilakukan oleh satu orang, melainkan enam orang pelaku yang secara bergantian datang ke tokonya hampir setiap hari sejak Januari hingga Desember 2024.
“Mereka ini setiap hari belanja, ambil rokok, makanan, minuman. Lalu tunjukkan bukti transaksi yang ternyata palsu. Bukti itu sudah mereka edit lebih dulu sebelum ditunjukkan ke kasir,” ungkap WSP.
Yang lebih mencengangkan, para pelaku tidak hanya mengambil barang dalam jumlah besar bahkan sampai satu slop rokok tetapi juga kerap meminta uang kembalian dengan mengelabui nominal transaksi.
“Misalnya dia belanja Rp 200 ribu, tapi tunjukkan bukti transfer Rp 250 ribu. Lalu dia minta kembaliannya Rp 50 ribu. Kasir percaya saja karena lihat bukti transfernya,” tambahnya.
Kenapa Tak Ketahuan? Sistem Pembayaran Tak Terkoneksi
Sistem pembayaran digital di tokonya menjadi celah empuk bagi para pelaku. Pasalnya, rekening untuk menampung dana pembayaran QRIS berbeda dengan rekening operasional toko. Selain itu, kasir hanya mengirimkan bukti transaksi ke grup WhatsApp karyawan tanpa mengikutsertakan WSP.
“Saya baru sadar setelah pulang dari Haji pada Juli 2024. Saya lihat kok stok barang habis, tapi uangnya enggak ada. Awalnya saya kira karyawan yang nakal. Tapi waktu saya jaga sendiri di toko, saya tangkap basah salah satu pelaku yang lagi beraksi,” katanya.
Sudah Lapor, Tapi Proses Mandek
Merasa dirugikan besar, WSP langsung melaporkan kasus ini ke Polres Kepulauan Mentawai pada 15 Januari 2025. Namun, hingga kini belum ada kejelasan soal kelanjutan kasusnya. Padahal, seluruh bukti sudah dikumpulkan dan diserahkan, termasuk:
- Print out bukti transfer palsu
- Pengakuan tertulis dari pelaku
- Rekaman percakapan WhatsApp antar pelaku yang menunjukkan adanya kerja sama
“Semua bukti sudah kami serahkan ke penyidik. Tapi sampai sekarang belum juga ada tersangka. Saya benar-benar kecewa. Saya hanya ingin keadilan,” ujarnya.
Tuntutan Keluarga: Copot Penyidik, Tahan Para Terlapor
Keluarga korban bahkan meminta agar Kabid Propam Polda Sumbar turun tangan. Mereka menilai ada kejanggalan dalam penanganan kasus ini.
“Kami mendesak agar penyidik Polres Mentawai segera menetapkan tersangka. Unsur pidananya sangat jelas, yakni melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan juncto Pasal 35 UU ITE. Ancaman hukumannya bisa sampai 12 tahun penjara dan denda Rp 12 miliar,” tegas perwakilan keluarga.
Mereka juga meminta agar Satker yang mengeluarkan SKCK untuk para terlapor diperiksa. Sebab, adanya SKCK di tengah proses hukum aktif justru menimbulkan tanda tanya besar.
Polisi: Masih Proses Lidik, Baru 10 Saksi Diperiksa
Menanggapi polemik yang kian memanas, Kasatreskrim Polres Kepulauan Mentawai, Iptu Edward Haloho, menyatakan bahwa kasus masih dalam tahap penyelidikan.
“Saksi-saksi sudah kita periksa, ada sekitar 10 orang. Tapi untuk penetapan tersangka, kita masih menunggu gelar perkara,” kata Edward.
Ia menegaskan bahwa penyidik tetap serius menangani perkara ini. “Kita atensi. Penetapan tersangka tetap harus melalui gelar perkara, dan akan dilakukan secepatnya.”
Soal nilai kerugian yang berbeda antara hasil penyelidikan dan klaim korban, Edward menyebut bahwa penyidik hanya bisa mengacu pada bukti yang tersedia.
“Dari dokumen yang ada, kerugiannya sekitar Rp 300 juta. Tapi korban menolak, tetap meminta Rp 500 juta. Karena itu, upaya mediasi juga gagal,” ungkapnya.
Potret Buram Penegakan Hukum di Daerah
Kasus WSP ini memperlihatkan betapa rentannya pelaku UMKM, bahkan dari kalangan istri aparat sekalipun, terhadap penipuan digital. Lebih parah, ketika korban telah menyertakan semua bukti lengkap namun belum juga mendapat keadilan, timbul pertanyaan besar: apakah hukum benar-benar berjalan untuk semua?
Kini, WSP hanya bisa menanti langkah lanjutan dari Polres Mentawai dan berharap gelar perkara bisa segera dilakukan agar pelaku ditahan dan keadilan bisa ditegakkan.
(Mond)
#Penipuan #Kriminal #Mentawai