Dugaan Skandal Demokrasi Kampus: Pemilihan Ketua STAI Yastis Padang Sarat Kontroversi, Yayasan Diduga Langgar Aturan dan Etika
Dr. Jamil
D'On, Padang — Badai polemik tengah mengguncang dunia akademik Kota Padang. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yastis Padang kini menjadi sorotan tajam setelah proses pemilihan ketua periode 2025–2029 diduga kuat cacat hukum, tidak transparan, dan dipenuhi praktik maladministrasi. Aroma manipulasi dan intervensi elit yayasan begitu menyengat, membayangi langkah suksesi kepemimpinan di institusi pendidikan Islam ini.
Puncak kontroversi mencuat saat sebuah pesan WhatsApp dari Ketua Perti Sumatera Barat pada 29 Mei 2025 tersebar luas. Pesan itu mengungkap bahwa pada 19 Mei 2025, sebuah rapat internal Yayasan Tarbiyah Islamiyah Padang yang melibatkan Pembina, Pengurus, dan Pengawas secara tiba-tiba mengambil keputusan kontroversial: bukan melalui pemilihan, tetapi dengan “musyawarah dan mufakat” yang langsung menetapkan Dr. Sobri sebagai Ketua STAI Yastis. Proses ini menggugurkan mekanisme pemilihan yang sebelumnya telah ditetapkan panitia.
Padahal, tahapan resmi sudah berjalan: mulai dari penjaringan bakal calon (6–15 Mei), pengusulan (16–17 Mei), hingga penetapan calon ketua (22–26 Mei). Ironisnya, salah satu kandidat resmi, Dr. Muhamad Jamil, MA., justru baru mengetahui keputusan ini dari pesan WhatsApp. Ia bahkan tidak diundang dalam rapat penetapan tersebut, meski telah menyerahkan seluruh dokumen persyaratan sebagai calon.
“Saya kecewa. Kalau dari awal memang sudah ada nama yang ‘diinginkan’, kenapa harus dibuka pendaftaran? Lebih jujur kalau mereka bilang langsung saja: tidak usah maju. Saya pasti patuh karena saya menghormati para guru saya,” ujar Dr. Jamil dengan nada getir.
“Musyawarah” yang Diduga Mengangkangi Demokrasi Akademik
Penggunaan diksi “musyawarah mufakat” menjadi pusat kritik tajam. Dalam konteks ini, istilah tersebut dinilai telah disalahgunakan untuk memanipulasi proses pemilihan dan menghindari kontestasi sehat. “Ini bukan musyawarah, ini penunjukan sepihak yang dibungkus jargon Islami. Padahal substansinya adalah pembajakan mekanisme demokrasi kampus,” kata salah satu dosen STAI Yastis yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Langkah yayasan ini juga berujung pada keresahan internal. Seorang dosen senior yang sebelumnya menjabat Kepala Jurusan dilaporkan mengundurkan diri karena kecewa dengan mekanisme yang dinilai tidak adil. Surat serah terima jabatan pun digelar dalam suasana penuh ketidakpastian, memperkuat kesan bahwa keputusan yayasan jauh dari semangat kejujuran dan akuntabilitas.
Rangkap Jabatan: Potensi Konflik Kepentingan yang Dibiarkan
Lebih dari sekadar cacat prosedural, konflik kepentingan diduga turut menyelimuti keputusan ini. Beberapa pengurus Yayasan Tarbiyah Islamiyah Padang ternyata masih aktif sebagai dosen di STAI Yastis Padang—sebuah pelanggaran terhadap Surat Edaran Dirjen Diktis No. 3 Tahun 2021. Surat tersebut dengan tegas melarang Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan untuk merangkap jabatan sebagai dosen, pegawai, atau pimpinan perguruan tinggi yang mereka kelola.
Dr. Jamil mengungkap bahwa calon ketua yang ditetapkan—Dr. Sobri—masih aktif menjabat sebagai Sekretaris Yayasan. Belum ada pengunduran diri resmi dari jabatannya di yayasan, sebagaimana disyaratkan regulasi. Maka, secara hukum, pencalonannya tidak sah.
“Jika regulasi ditegakkan, maka saya satu-satunya calon yang memenuhi syarat sah. Saya mestinya ditetapkan sebagai Ketua secara aklamasi,” tegas Dr. Jamil dalam surat protesnya tertanggal 29 Mei 2025.
Dokumen Palsu atau Diabaikan? Visi-Misi Tak Pernah Disetor
Lebih mencengangkan lagi, kandidat yang ditunjuk tersebut disebut tidak melampirkan dokumen krusial seperti visi, misi, dan rencana strategis—syarat esensial dalam seleksi calon pimpinan perguruan tinggi. Ketidakhadiran dokumen tersebut semakin menegaskan bahwa proses yang berjalan bukan hanya cacat hukum, tapi juga tidak profesional dan tidak etis.
“Pemimpin tanpa visi adalah bencana bagi institusi. Ini bukan hanya soal jabatan, ini soal masa depan lembaga pendidikan,” tukas salah satu alumni STAI Yastis yang kini menjadi pengajar di luar negeri.
Desakan Turun Tangan dari Otoritas dan Masyarakat
Dalam surat resmi yang telah dikirimkan ke Kopertais Wilayah VI Sumatera Barat, Ombudsman RI, dan lembaga terkait, Dr. Jamil meminta intervensi segera untuk menyelamatkan integritas kampus. Ia menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan ditegakkan. Surat tembusan juga dikirimkan ke media massa, sebagai bentuk komitmen terhadap keterbukaan informasi publik.
Dr. Jamil menegaskan bahwa jika praktik-praktik manipulatif ini dibiarkan, maka bukan hanya kredibilitas STAI Yastis yang hancur, tapi juga martabat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) sebagai organisasi yang selama ini menjunjung nilai keislaman dan keadaban akademik.
“Apa gunanya kita berdakwah jika rumah kita sendiri dibangun di atas kebohongan? Jika yayasan mencederai demokrasi, maka kita semua bertanggung jawab meluruskannya,” pungkas Dr. Jamil.
Catatan Redaksi: Kasus ini masih bergulir. Kami mengajak semua pihak yang terkait untuk memberikan klarifikasi demi keseimbangan informasi. Keadilan dan kebenaran adalah tanggung jawab bersama.
(*)
#STIAYastis #Polemik #Pendidikan