Breaking News

Dibalik Koperasi Desa Merah Putih: Peluang Untung Rp1 Miliar dan Syarat Ketat Jadi Pengurusnya

Ternyata Segini Gaji hingga Syarat Jadi Pengurus Koperasi Merah Putih, Bisa Untung Rp1 Miliar (Foto: Budi Arie/Okezone

D'On, Jakarta
– Di tengah wacana transformasi ekonomi desa yang digaungkan pemerintah, sebuah inisiatif ambisius tengah disiapkan: Koperasi Desa Merah Putih. Digadang-gadang sebagai instrumen strategis untuk memutus mata rantai ketergantungan petani dan masyarakat desa pada tengkulak dan rentenir, koperasi ini disebut-sebut memiliki potensi keuntungan hingga Rp1 miliar per tahun per unit. Namun di balik peluang besar itu, muncul pertanyaan: siapa yang bisa mengelolanya? Dan berapa gaji yang akan diterima pengurusnya?

Gaji Pengurus Koperasi: Belum Ada Kepastian, Tapi Potensi Besar

Kabar yang beredar di media sosial menyebut bahwa pengurus Koperasi Desa Merah Putih bisa mendapatkan gaji hingga Rp8 juta per bulan. Namun, Menteri Koperasi dan UKM Budi Arie Setiadi membantah informasi itu. Dalam pernyataan yang disampaikan kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senin (26/5/2025), ia menegaskan bahwa pemerintah belum menetapkan besaran gaji untuk pengurus koperasi ini.

“Belum, belum ada (gaji yang ditetapkan),” ujar Budi Arie.

Pernyataan tersebut juga diamini oleh Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono yang menjelaskan bahwa posisi pengurus koperasi memang belum dibuka, mengingat lembaga ini masih dalam proses pembentukan. Artinya, semua pembahasan soal kompensasi dan operasional belum difinalisasi.

Syarat Jadi Pengurus: Tak Cacat Finansial, Bebas Nepotisme

Meski belum bicara soal gaji, pemerintah menyiapkan standar tinggi untuk memilih siapa saja yang bisa duduk sebagai pengurus. Tak semua warga desa bisa mendaftar. Budi Arie mengungkapkan bahwa calon pengurus koperasi harus lolos verifikasi melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Artinya, mereka tidak boleh memiliki riwayat kredit buruk atau tersangkut utang bermasalah.

Tak hanya itu, demi mencegah praktik nepotisme yang kerap menjadi penyakit kronis di level desa, pemerintah melarang adanya hubungan keluarga antara pengurus koperasi dan perangkat desa. Langkah ini dianggap penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas lembaga koperasi yang dirancang sebagai lembaga ekonomi kolektif berbasis gotong royong.

“Semua pengurus harus bersih dari cacat keuangan dan tidak boleh ada konflik kepentingan,” tegas Budi Arie.

Bukan Wajib, Tapi Koperasi Akan Bawa Banyak Manfaat untuk Warga

Menanggapi isu keanggotaan koperasi, Budi Arie menegaskan bahwa masyarakat tidak diwajibkan untuk bergabung. Prinsip dasar koperasi tetap dijaga: sukarela, mandiri, dan gotong royong. Meski begitu, pemerintah akan mendorong minat warga desa melalui berbagai insentif, termasuk kemungkinan diskon belanja untuk anggota koperasi.

Strategi ini diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran kolektif tentang pentingnya memiliki lembaga ekonomi yang dikelola oleh dan untuk masyarakat desa itu sendiri.

Peluang Keuntungan Rp1 Miliar: Dari Mana Angkanya?

Salah satu hal yang membuat koperasi ini begitu menarik adalah potensi keuntungannya. Budi Arie menyebut bahwa setiap koperasi desa Merah Putih bisa menghasilkan hingga Rp1 miliar per tahun, jika sistem distribusi yang efisien berhasil diterapkan.

Bagaimana bisa?

Menurut data dari Kementerian Pertanian dan lembaga terkait, selama ini desa dirugikan oleh sistem distribusi yang panjang dan tidak adil. Middleman, tengkulak, dan rentenir disebut bisa mengeruk untung hingga Rp300 triliun per tahun dari berbagai transaksi hasil pertanian dan kebutuhan pokok.

Contoh nyata: harga wortel. Di tangan petani, satu kilogram wortel hanya dihargai Rp500, tapi sampai di kota, harganya bisa melonjak menjadi Rp5.000. Selisih harga yang besar ini tak pernah dinikmati petani—justru masuk ke kantong para perantara.

“Nilai orang tengah ini terlalu besar. Tidak adil bagi masyarakat desa maupun masyarakat kota,” kata Budi Arie.

Dengan sistem koperasi yang memotong jalur distribusi itu, pemerintah memperkirakan sekitar Rp90 triliun bisa ‘diselamatkan’ dan dialirkan kembali ke desa, atau sekitar Rp1 miliar untuk setiap dari 80 ribu koperasi desa yang direncanakan.

Subsidi Tak Tepat Sasaran: Masalah Lama, Solusi Baru

Tak hanya dari distribusi hasil tani, koperasi desa juga akan menjadi kunci efisiensi penyaluran subsidi. Budi Arie mencontohkan kasus subsidi pupuk yang mencapai Rp43 triliun. Di pabrik, pupuk hanya seharga Rp2.300 per kilogram, ditambah ongkos angkut sekitar Rp300—Rp400. Idealnya, harga jual maksimal Rp2.600. Namun kenyataan di lapangan, pupuk bersubsidi sering dijual hingga Rp4.800 per kilogram.

“Delta-nya terlalu besar, dan itu sangat merugikan petani,” tegasnya.

Masalah serupa terjadi pada subsidi LPG, di mana petani dan warga desa kerap membeli dengan harga non-subsidi, meskipun pemerintah telah menggelontorkan dana besar untuk memastikan harga terjangkau.

Lewat koperasi desa, distribusi subsidi akan lebih terpantau dan merata. Barang-barang seperti pupuk, LPG, bahkan kebutuhan pokok, bisa disalurkan langsung oleh koperasi ke warga tanpa perantara yang ‘memakan’ subsidi.

Monopoli Koperasi: Legal dan Pro-Rakyat

Di tengah antusiasme, muncul kekhawatiran apakah koperasi desa ini akan menjadi bentuk baru monopoli. Menanggapi hal ini, Budi Arie menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memperbolehkan dua lembaga untuk melakukan praktik monopoli dalam batas tertentu: BUMN dan koperasi.

Menurutnya, koperasi tidak bisa disamakan dengan perusahaan swasta karena ia milik kolektif masyarakat, bukan individu atau kelompok elit.

“Koperasi dibenarkan melakukan monopoli karena dimiliki oleh banyak orang. Tujuannya bukan mencari untung pribadi, tapi untuk kesejahteraan bersama,” tutupnya.


Penutup: Antara Harapan dan Tantangan

Koperasi Desa Merah Putih bukan hanya proyek ekonomi, tapi juga harapan baru bagi masyarakat desa untuk bangkit secara mandiri. Dengan sistem yang transparan, distribusi subsidi yang lebih efisien, dan potensi keuntungan besar, koperasi ini bisa menjadi tonggak revolusi ekonomi kerakyatan. Namun semuanya bergantung pada integritas pengurus, dukungan masyarakat, dan keberhasilan implementasi di lapangan.

Pertanyaannya sekarang: Siapkah desa-desa Indonesia mengambil alih takdir ekonominya sendiri?

(Iqbal)

#Ekonomi #KoperasiMerahPutih #Nasional #BudiArieSetiadi