Update Bencana Sumatera 12 Desember 2025: 995 Orang Meninggal, 226 Masih Hilang
D'On, Jakarta — Gelombang duka belum juga mereda di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Hingga Jumat (12/12/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 995 orang meninggal dunia akibat banjir bandang dan longsor yang memporak-porandakan wilayah Sumatera sejak 24 November lalu. Angka ini naik lima jiwa dibanding laporan sehari sebelumnya.
“Sekarang menunjukkan 995 jiwa meninggal dunia di tiga provinsi,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam konferensi pers daring.
Sementara itu, 226 orang masih dinyatakan hilang, meningkat dari 222 nama pada Kamis. Adapun jumlah pengungsi tetap berada di angka 884.889 jiwa, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar di Indonesia dalam satu dekade terakhir.
“Ini terus kita dorong penanganannya, baik logistik maupun kebutuhan dasar lainnya,” ujar Muhari.
Korban Meninggal Berpotensi Turun: Verifikasi Ditemukan Data Ganda hingga Jasad dari Area Pemakaman
Meski jumlah korban mencapai hampir seribu jiwa, Muhari mengungkap bahwa angka ini berpotensi menurun. Bukan karena kondisi di lapangan membaik, namun karena verifikasi data kini dilakukan lebih ketat di tingkat kecamatan bersama Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
“Sudah dilakukan verifikasi ulang berdasarkan data sipil by name by address. Mungkin terjadi pengurangan,” jelasnya.
Temuan mencolok muncul saat proses identifikasi jasad di sejumlah wilayah terdampak:
- Sebagian jenazah ternyata berasal dari area pemakaman, bukan korban bencana.
- Beberapa nama yang sebelumnya masuk dalam daftar korban meninggal ternyata telah tercatat wafat sebelum bencana terjadi.
- Ada kemungkinan data pelaporan awal mengandung duplikasi atau kekeliruan identitas.
Proses verifikasi kini memasuki tahap lanjutan. BNPB bahkan menyebut mulai besok mungkin ada kabupaten yang menerima data korban berdasarkan catatan sipil resmi, bukan laporan manual di lapangan.
Mengapa Banjir di Sumatera Begitu Parah? Kombinasi Tiga Faktor Mematikan
Bencana yang menghantam Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan sekadar akibat hujan biasa. Para ahli menyebut tiga faktor kunci yang membuat banjir kali ini sangat destruktif:
1. Atmosfer Sangat Aktif dan Puncak Musim Hujan
Ketua Prodi Meteorologi ITB, Muhammad Rais Abdillah, menjelaskan bahwa Sumatera bagian utara sedang berada di puncak musim hujan, yang secara alami memiliki dua puncak curah hujan dalam setahun.
Pada periode ini:
- Curah hujan >150 mm/hari adalah normal.
- Sejumlah stasiun BMKG mencatat >300 mm/hari, setara dengan banjir besar Jakarta 2020.
2. Penguatan Cuaca dari Siklon Tropis Senyar
Pada 24 November, citra satelit mencatat terbentuknya vortex di Semenanjung Malaysia yang berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka.
Walau tidak sekuat siklon Samudra Hindia, Senyar memiliki dampak besar:
- menaikkan suplai uap air
- memperkuat awan konvektif
- memperluas cakupan hujan ekstrem
“Intensitas presipitasi meningkat tajam akibat cold surge vortex dan sistem skala meso,” kata Rais.
3. Kerusakan Lingkungan yang Menghilangkan Kemampuan Tanah Menyerap Air
Dari sisi geospasial, wilayah terdampak mengalami penurunan tajam tutupan vegetasi. Perubahan fungsi lahan memperburuk situasi.
Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, menegaskan bahwa banjir bukan semata soal curah hujan.
“Kemampuan permukaan bumi dalam menerima dan mengelola air sangat menentukan,” ujar Heri.
Jika hutan yang memiliki infiltrasi tinggi berubah menjadi:
- permukiman,
- lahan perkebunan intensif,
- atau area terbuka,
maka air hujan mengalir langsung sebagai limpasan cepat, memicu banjir besar dalam hitungan jam.
Bahkan, Heri menambahkan bahwa peta bahaya banjir Indonesia belum sepenuhnya akurat karena keterbatasan data geospasial dan pemodelan. Hal ini memperlemah perencanaan tata ruang berbasis risiko.
Tragedi yang Menguji Sistem Kebencanaan Indonesia
Bencana di Sumatera menjadi pengingat keras bahwa Indonesia masih sangat rentan terhadap kombinasi cuaca ekstrem dan degradasi lingkungan.
Di lapangan, ribuan petugas gabungan terus bekerja menyisir puing, lumpur, dan daerah aliran sungai. Tim SAR masih berpacu dengan waktu untuk menemukan ratusan warga yang belum kembali.
Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah kini dihadapkan pada pekerjaan besar: memperbaiki data, memperbaiki lingkungan, dan memperbaiki sistem mitigasi jangka panjang.
Meski angka korban mungkin mengalami revisi, tragedi yang terjadi telah meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Sumatera dan menjadi alarm keras bagi seluruh Indonesia.
(L6)
#BNPB #UpdateKorbanBencanaSumatera #BencanaSumatera
