Tugu Lokomotif Padang Panjang: Makam Massal Ratusan Korban Tragedi Kereta Api Era Jepang

Tugu Kuburan Massal di Padang Panjang
Dirgantaraonline - Di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat kota sejuk yang dikenal sebagai jalur penghubung strategis antara Padang dan Bukittinggi berdiri sebuah tugu sederhana setinggi kurang lebih dua meter. Bentuknya menyerupai kepala lokomotif, terletak di kompleks Pandam Pakuburan Pusaro Dagang. Sekilas, tugu ini tampak seperti monumen peringatan biasa. Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan salah satu tragedi transportasi paling kelam dan mematikan dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, khususnya di Ranah Minang.
Tugu tersebut bukan sekadar simbol peringatan. Ia adalah nisan raksasa, penanda makam massal ratusan korban kecelakaan kereta api yang terjadi pada masa pendudukan Jepang, tepatnya antara akhir 1944 hingga awal 1945.
Jalur Kereta Api di Masa Perang: Antara Strategi dan Pengabaian Nyawa
Pada masa kolonial Belanda, jalur kereta api Padang–Padang Panjang–Bukittinggi dibangun sebagai urat nadi ekonomi dan militer. Jalur ini melintasi wilayah ekstrem seperti Lembah Anai dan lereng Gunung Singgalang, dengan tanjakan curam, jembatan tinggi, dan tikungan tajam sebuah pencapaian teknik, namun juga penuh risiko.
Ketika Jepang menduduki Sumatera pada 1942, jalur kereta api tersebut dialihfungsikan secara masif untuk kepentingan perang. Kereta tidak hanya mengangkut logistik militer, tetapi juga pekerja paksa (romusha), warga sipil, dan berbagai kebutuhan perang lainnya. Perawatan infrastruktur nyaris diabaikan. Keselamatan bukan prioritas utama; kecepatan dan kepentingan militer berada di atas segalanya.
Tragedi Pertama: 23 Desember 1944 – Singgalang Kariang
Prasasti pada tugu mencatat tragedi pertama terjadi pada 23 Desember 1944, di kawasan Singgalang Kariang, wilayah yang kini dikenal sebagai area peristirahatan di Lembah Anai.
Saat itu, sebuah rangkaian kereta api melaju menuruni jalur curam. Tanpa peringatan memadai, kereta mengalami kecelakaan fatal setelah melewati jembatan yang rusak parah diduga karena faktor usia, minim perawatan, atau bahkan kemungkinan sabotase dalam konteks perang.
Rangkaian kereta terjun, terguling, dan hancur. Gerbong-gerbong kayu dan besi remuk dalam hitungan detik. Banyak penumpang tewas seketika, sementara yang lain terjepit di antara puing-puing. Jumlah korban tidak pernah tercatat secara pasti, namun kesaksian sezaman menyebut ratusan orang kehilangan nyawa.
Tragedi Kedua: 23 Maret 1945 – Jalur Gantiang–Aia Angek
Belum genap tiga bulan sejak tragedi pertama, bencana serupa kembali terjadi.
Pada 23 Maret 1945, sebuah kereta kembali mengalami kecelakaan di jalur pendakian antara Kelurahan Gantiang dan Nagari Aia Angek. Penyebabnya nyaris identik: jembatan yang tidak layak fungsi di jalur berbahaya.
Peristiwa ini menegaskan bahwa tidak ada evaluasi serius pasca-tragedi pertama. Jalur maut itu tetap digunakan tanpa perbaikan berarti. Sekali lagi, kereta anjlok dan menewaskan puluhan hingga ratusan penumpang.
Dua kecelakaan besar dalam rentang waktu hanya tiga bulan menjadikan Padang Panjang sebagai saksi bisu tragedi transportasi terburuk di Sumatera pada masa pendudukan Jepang.
Liang Lahat Sedalam Lima Meter: Pemakaman Massal Tanpa Nama
Kondisi perang membuat proses evakuasi dan identifikasi korban nyaris mustahil. Jepang tidak menyediakan pemakaman individual atau pencatatan korban.
Sebuah lubang besar sedalam sekitar lima meter digali di area Pusaro Dagang. Jenazah korban kecelakaan Desember 1944 dimakamkan secara massal di sana. Tiga bulan kemudian, liang yang sama dibuka kembali untuk menampung korban tragedi Maret 1945.
Tanpa nisan, tanpa nama, tanpa upacara layak tulang belulang ratusan manusia ditimbun dalam satu liang. Di atasnya, kemudian didirikan tugu dengan simbol kepala lokomotif sebagai satu-satunya penanda bahwa di bawah tanah itu bersemayam ratusan korban tak dikenal.
Prasasti Ejaan Lama dan Penanggalan Jepang
Keunikan tugu ini terletak pada prasastinya yang masih menggunakan ejaan lama bahasa Melayu serta penanggalan Jepang, memperkuat keasliannya sebagai peninggalan era pendudukan.
Prasasti tersebut tidak merinci jumlah korban, namun cukup untuk menegaskan bahwa tugu ini didirikan sebagai penanda dua kecelakaan besar kereta api yang menelan korban jiwa dalam jumlah sangat besar.
Monumen Sunyi yang Terlupakan
Ironisnya, di tengah lalu lintas Kota Padang Panjang yang terus bergerak maju, tugu ini kerap luput dari perhatian. Banyak warga, terutama generasi muda, tidak mengetahui bahwa monumen tersebut adalah makam massal, bukan sekadar tugu peringatan.
Padahal, nilai sejarahnya sangat besar—bukan hanya sebagai bagian dari sejarah perkeretaapian, tetapi juga sebagai potret nyata bagaimana perang mengorbankan nyawa sipil tanpa belas kasihan.
Seorang pengamat sejarah lokal pernah menyatakan:
“Tugu ini bukan sekadar monumen. Ia adalah pengingat bahwa keselamatan manusia pernah dikorbankan demi kepentingan perang. Ini bagian dari identitas sejarah kereta api dan kemanusiaan kita.”
Menolak Lupa, Merawat Ingatan
Melestarikan kisah Tugu Kecelakaan Kereta Api Padang Panjang bukan bertujuan membuka luka lama, melainkan merawat ingatan kolektif. Tragedi ini mengajarkan bahwa kemajuan transportasi tanpa keselamatan hanya akan melahirkan korban.
Kini, tugu kepala lokomotif itu berdiri sunyi, menghadap rel yang pernah menjadi jalur maut. Di bawahnya, ratusan nyawa beristirahat tanpa nama, namun tidak seharusnya tanpa cerita.
Tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa kisah mereka tidak terkubur sedalam liang lahatnya dan bahwa sejarah kelam ini tetap hidup sebagai pelajaran bagi masa depan.
(Mond)
#Sejarah #SumateraBarat #KotaPadangPanjang