Breaking News

Jalur Nelayan di Padang Lumpuh Total: Ribuan Ton Gelondongan Kayu Tertimbun di Bibir Pantai

Kondisi terkini salah satu kawasan pantai di Kota Padang, Sumatera Barat yang dipenuhi tumpukan kayu berukuran kecil hingga besar, Rabu (3/12/2025). Tumpukan kayu tersebut menyebabkan nelayan tidak bisa pergi melaut. (tirto.id/Fajar Alfaridho Herman).

D'On, Padang
- Gelombang banjir bandang yang menerjang Kota Padang, Sumatera Barat, bukan hanya menyapu rumah, ladang, dan ingatan akan hari-hari yang tenang. Ia juga merampas ruang hidup para nelayan menyergap jalur keluar-masuk kapal dengan ribuan gelondongan kayu yang terus mengalir dari hulu bak arus tak berkesudahan.

Dua pekan setelah bencana, garis pantai Padang tampak seperti gudang raksasa yang tumpah ruah. Dari Pantai Parkit hingga titik-titik lain di sepanjang pesisir, hamparan kayu berbagai ukuran mulai dari sebesar lengan hingga seukuran batang pohon besar menumpuk rapat, menutup jalur perahu nelayan. Bibir pantai berubah menjadi labirin kayu basah yang tak bisa ditembus.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mencatat lebih dari 1.100 ton gelondongan kayu terdampar di sepanjang pantai. Angka itu belum termasuk kayu yang masih terus datang setiap hari, terbawa arus sungai yang belum kembali normal.

Edi (54), salah seorang nelayan di Kota Padang saat diwawancarai terkait nasib nelayan paska banjir bandang, Rabu (3/12/2025). Edi menyebut sudah 15 hari nelayan tidak melaut karena tumpukan kayu yang hanyut terbawa banjir bandang beberapa hari yang lalu. (tirto.id/Fajar Alfaridho Herman)


“Lebih besar kayunya daripada kapal kami”

Edi (54), nelayan Pantai Parkit yang wajahnya mulai terbakar matahari tanpa laut, mengaku sudah 15 hari tak melihat satu pun jaringnya terhampar di perairan.

“Sejak hujan lebat sampai banjir bandang itu, sampai sekarang belum bisa melaut,” tuturnya, memandang pantai yang kini lebih mirip tempat penampungan kayu. “Bagaimana mau ke laut? Lebih besar gelondongan kayu yang terdampar daripada kapal kami.”

DLH sempat mengerahkan alat berat dan ratusan personel untuk membersihkan sebagian jalur. Ketika jalur kecil berhasil dibuka, para nelayan mencoba melaut meski waswas. Namun petang hari ketika mereka kembali, pantai kembali ditutup oleh kayu-kayu baru yang datang dari hulu sungai.

“Kami cuma bisa saling bantu supaya kapal tidak diseruduk kayu. Sekali kapal rusak, habis sudah. Harga perbaikan tidak murah,” katanya. “Sementara penghasilan kami hanya dari laut. Sudah dua minggu ini makan pun pakai apa yang tersisa dulu.”

Nelayan Elo Pukek: Terpukul Dua Kali

Penderitaan tak hanya dirasakan oleh nelayan pemilik kapal. Nelayan yang menggunakan cara tradisional ‘Elo Pukek’ (tarik pukat dari tepi pantai) justru paling terpukul. Metode ini sangat bergantung pada kebersihan garis pantai sebuah syarat yang kini mustahil dipenuhi.

“Bagaimana bisa dapat ikan? Menarik jaring saja tidak bisa. Jaring kami tersangkut dan robek kena kayu-kayu besar itu,” ujar Edi. “Banyak teman-teman yang jaringnya putus semua.”

Harapan yang Menggantung di Atas Tumpukan Kayu

Nelayan berharap pemerintah turun tangan lebih masif untuk membersihkan pesisir. Bukan hanya demi membuka jalur kapal, tetapi untuk menyambung kehidupan keluarga-keluarga yang menggantungkan hidup pada ombak dan angin.

“Kalau bisa segera dibersihkan. Kami cuma ingin kembali melaut,” pinta Edi, suaranya pelan namun tajam. “Dan kalau boleh, ada bantuan untuk sementara. Kami benar-benar tidak punya pemasukan sejak bencana itu.”

Di sepanjang pantai, kayu-kayu itu diam, namun menghadirkan suara paling bising: suara orang-orang yang kehilangan ruang hidupnya.

(Mond)

#Nelayan #KayuGelondongan #Padang #BanjirPadang