Breaking News

Hakim PN Batam Dipecat Tidak Hormat: Selingkuh, Bolos Hampir Dua Tahun, dan Bungkam Hadapi Sidang Etik


D'On, BATAM
— Retaknya integritas lembaga peradilan kembali terbuka lebar. Seorang hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam berinisial HS resmi dipecat tidak hormat oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) setelah terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Putusan itu dijatuhkan pada Jumat, 18 Desember 2025, dan menjadi salah satu sanksi etik terberat dalam catatan peradilan di wilayah Kepulauan Riau.

Bukan sekadar kasus perselingkuhan, pelanggaran HS justru semakin mencengangkan karena disertai tindakan ekstrem: mangkir dari tugas hampir dua tahun penuh tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun etik.

Perilaku tersebut dinilai mencoreng marwah hakim sebagai penjaga keadilan, simbol moral, dan teladan integritas. Ketidakhadiran seorang hakim dalam waktu panjang, tanpa klarifikasi dan tanpa tanggung jawab, menjadi tamparan keras bagi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Mangkir Sejak 2023, Tak Pernah Tunjukkan Itikad Baik

Juru Bicara Pengadilan Negeri Batam, Vabiannes Stuart Wattimena, membenarkan bahwa HS telah tidak aktif menjalankan tugas sejak tahun 2023. Bahkan, sepanjang proses pemeriksaan oleh Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung hingga persidangan etik di tingkat Mahkamah Agung, HS sama sekali tidak menunjukkan sikap kooperatif.

“Yang bersangkutan sudah tidak menjalankan tugas kurang lebih selama dua tahun. Sudah dipanggil dan disurati secara patut dan sah berkali-kali, baik oleh PN Batam maupun oleh tim Bawas MA, tetapi tidak pernah diindahkan,” ujar Vabiannes, Selasa (23/12/2025).

Ironisnya, hak jawab yang dijamin undang-undang untuk membela diri atau memberikan klarifikasi tidak pernah digunakan. HS memilih bungkam total. Akibatnya, sidang etik terpaksa digelar dan diputuskan secara in absensia—sebuah kondisi langka dan mencerminkan krisis etika yang serius.

Ajukan Pensiun Dini di Tengah Proses Etik

Di tengah proses pemeriksaan etik yang sedang berjalan, HS bahkan sempat mengajukan permohonan pensiun dini. Namun langkah tersebut dinilai tidak memiliki urgensi hukum dan ditolak secara etik oleh Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial (KY).

Permohonan itu dipandang sebagai upaya menghindari tanggung jawab, mengingat status HS masih sebagai terlapor pelanggaran berat etik yang belum diputuskan.

Dipecat Tidak Hormat, Hak Negara Gugur Total

Sanksi yang dijatuhkan MKH bukan hanya pemberhentian tetap, melainkan pemberhentian tidak hormat—konsekuensi terberat bagi seorang hakim. Dengan putusan tersebut, HS kehilangan seluruh hak kepegawaiannya, termasuk hak pensiun.

Negara bahkan telah menghentikan pembayaran gaji sejak yang bersangkutan dinyatakan mangkir dari tugas.

Keputusan ini sekaligus menegaskan bahwa lembaga peradilan tidak memberi ruang kompromi bagi pelanggaran etik berat, terutama yang menyangkut keteladanan dan tanggung jawab profesi.

Roda Peradilan Tetap Berjalan, Beban Hakim Menggunung

Meski kasus ini berpotensi mengguncang kepercayaan publik, PN Batam memastikan pelayanan peradilan tidak terganggu. Sejak laporan pelanggaran mencuat, pimpinan pengadilan langsung menunjuk hakim pengganti.

Saat ini, terdapat 16 hakim aktif di PN Batam yang menangani sekitar 45 hingga 60 perkara per hari—angka yang menunjukkan beban kerja sangat tinggi.

Vabiannes mengakui, sebelumnya PN Batam mengalami kekurangan hakim. Idealnya terdapat empat majelis hakim, namun sempat hanya tersedia tiga majelis. Setiap majelis bahkan harus memimpin hingga 60 sidang pidana dan perdata dalam sehari.

“Sekarang sudah ada penambahan hakim dari Mahkamah Agung yang dimutasikan dari luar Batam. Persidangan sudah mulai normal dan terkendali,” ujarnya.

Cermin Rapuhnya Integritas Peradilan

Kasus HS menjadi cermin rapuhnya integritas jika pengawasan internal lengah. Ketidakhadiran seorang hakim selama hampir dua tahun tanpa sanksi cepat menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pengawasan dan disiplin.

Peristiwa ini sekaligus menjadi alarm keras bagi lembaga peradilan untuk memperkuat pembinaan, transparansi, serta penegakan etik secara konsisten—bukan hanya reaktif setelah kasus mencuat ke publik.

“Pembinaan rutin setiap minggu terus kami lakukan untuk menjaga integritas dan profesionalisme para hakim,” tegas Vabiannes.

Di tengah harapan masyarakat akan keadilan yang bersih dan berwibawa, kasus ini menjadi pengingat pahit: hakim bukan sekadar penegak hukum, tetapi cermin moral negara. Ketika cermin itu retak, kepercayaan publik pun ikut terbelah.

(L6)

#OknumHakimPNBatamSelingkuh #Hukum #Hakim #PNBatam