Breaking News

Malam yang Tak Pernah Tidur di Dharmasraya: Antara Gemerlap Cafe, Nafsu yang Menggoda, dan Suara Moral yang Tersisih

Ilustrasi Praktik Prostitusi (Shouselaw.com)

D'On, Dharmasraya
— Jarum jam baru saja melewati angka sebelas malam. Udara di Jalan Lintas Sumatra Kilometer 6 mulai berubah, terasa lebih dingin dan lembab. Lalu lintas yang biasanya ramai dengan deru kendaraan kini berangsur sepi. Ranah Cati Nan Tigo, yang di siang hari riuh oleh aktivitas ekonomi, perlahan tertelan sunyi. Kedai-kedai kopi yang siang tadi menjadi tempat berkumpul warga kini telah menutup pintunya rapat-rapat.

Namun, di balik kesunyian itu, kehidupan malam justru baru dimulai. Tak jauh dari Rumah Dinas Bupati Dharmasraya, beberapa bangunan sederhana dengan lampu warna-warni mulai berpendar. Musik dangdut dan dentuman bass mengoyak keheningan. Di sinilah dunia lain Dharmasraya berdenyut  dunia yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai café atau warung remang-remang.

Cahaya Lampu, Tawa Palsu, dan Transaksi Gelap

Dari luar, tempat-tempat itu tampak biasa: bangku plastik, meja bundar, dan lampu neon yang menyilaukan. Tapi di dalamnya, ada dunia yang penuh kompromi antara kebutuhan ekonomi dan moral yang kian tergerus.

Ayu Pirang (nama samaran), seorang perempuan muda yang bekerja sebagai pemandu lagu di salah satu café, menyambut tamunya dengan senyum ramah. Ia bukan pelayan tetap, melainkan pekerja lepas yang datang ketika malam terasa panjang. “Tugas saya menemani tamu nyanyi, minum, ngobrol,” ucapnya pelan sambil menyalakan rokok. “Kalau cocok harga, ya kadang lebih dari itu.”

“Lebih dari itu” yang ia maksud bukan sekadar menemani nyanyi. Ayu tak menutupi bahwa sebagian pelanggan sering memintanya untuk “melanjutkan malam” di tempat lain. “Biasanya di hotel, kadang di kamar mandi café,” ujarnya tanpa ekspresi. Harga pun bervariasi  antara lima ratus ribu hingga satu juta rupiah, tergantung siapa pelanggannya. “Kalau orang dompeng, bos minyak, itu jarang nawar,” katanya sambil terkekeh getir.

Di tengah tawa para pelanggan dan denting gelas beradu, Ayu menyimpan luka yang tak terlihat. Sudah biasa baginya menerima tepukan di pantat atau ciuman iseng di kening dari pria-pria mabuk. “Kalau mereka lagi tinggi, bisa kasar. Kadang saya takut, tapi mau bagaimana lagi? Ini kerjaan saya,” tuturnya lirih.

Dunia Maya, Perpanjangan Nafsu

Aktivitas malam di café-café itu ternyata tak berhenti di ruang nyata. Di dunia maya, geliatnya lebih menggila. Melalui aplikasi M**chat, sejumlah akun perempuan dari wilayah yang sama menawarkan jasa serupa. Titik pertemuan? Hotel-hotel kecil dan wisma di sekitar Cati Nan Tigo. Semua berlangsung cepat, rahasia, dan tanpa jejak. Dunia digital menjadi ruang gelap baru bagi transaksi hasrat yang tak tersentuh hukum.

Jalan Baru: Arena Cinta dan Nafsu yang Menyala

Tak jauh dari café tempat Sania bekerja, suasana berbeda tapi dengan aroma yang sama terasa di Jalan Baru  jalur remang di belakang Rumah Dinas Bupati. Di sini, bukan hanya pekerja malam yang mengadu nasib, tapi juga pasangan muda yang mengadu kasih.

Di balik semak-semak atau di atas sepeda motor yang berhenti di bayang pepohonan, pelukan dan ciuman berbaur dengan embun malam. Kadang, suara kendaraan yang melintas menjadi “pembubaran” dadakan sebelum kembali dimulai lagi ketika jalan sepi.

Seorang warga yang kebunnya tak jauh dari lokasi itu mengaku sering menemukan bekas alat kontrasepsi berserakan di tanah. “Kadang ada juga pakaian dalam perempuan yang ditinggal begitu saja,” ujarnya. Semua menjadi saksi bisu dari nafsu yang membara dan moral yang kian kabur.

Keresahan Warga dan Seruan Moral

Kondisi ini tak luput dari perhatian masyarakat. Rahmat Putra, salah seorang tokoh pemuda Dharmasraya, menyesalkan maraknya café remang-remang dan tempat-tempat rawan perbuatan maksiat di Cati Nan Tigo.

“Saya khawatir ini bisa merusak moral masyarakat, terutama anak muda,” ujarnya tegas. Menurutnya, keberadaan café-café seperti itu bukan hanya mencoreng wajah daerah, tetapi juga berpotensi menjadi sumber penyakit menular akibat hubungan seksual bebas.

Ia mendesak Pemerintah Kabupaten Dharmasraya agar bertindak tegas. “Harus ada langkah nyata  penertiban, razia, bahkan penutupan permanen jika perlu. Ini bukan hanya soal moral, tapi juga soal kesehatan dan keamanan sosial,” lanjutnya.

Ridwan juga meminta aparat untuk rutin melakukan patroli di kawasan rawan aktivitas muda-mudi, terutama di Jalan Baru dan sekitar Rumah Dinas Bupati. “Jangan tunggu viral dulu baru bergerak. Masalah ini sudah lama, tapi seperti dibiarkan begitu saja,” ujarnya.

Menanti Sikap Tegas Pemerintah

Ketika media mencoba mengonfirmasi kepada Bupati Dharmasraya, Annisa Suci Ramadhani, hingga berita ini diterbitkan, pesan yang dikirim melalui aplikasi WhatsApp belum juga direspons. Padahal, masyarakat menunggu langkah nyata dari aparat penegak perda untuk menegakkan ketertiban dan menjaga citra daerah.

Malam terus bergulir di Dharmasraya. Di satu sisi, ada perempuan seperti Ayu Pirang yang menjual waktu dan tubuh demi sesuap harapan. Di sisi lain, ada masyarakat yang gelisah melihat tanah mereka perlahan kehilangan nilai-nilai luhur yang dulu dijunjung tinggi.

Dan di antara keduanya, ada pemerintah yang diharapkan tak lagi diam karena di balik gemerlap lampu café, Dharmasraya menyimpan kisah tentang perjuangan, kemiskinan, dan moral yang sedang diuji oleh zaman.

(Mond)

#Prostitusi #KafeHiburanMalam #Dharmasraya