Breaking News

Kasus Perundungan Brutal di SMPN 19 Tangsel: KPAI Desak Penegakan Hukum, Korban Alami Gangguan Saraf Berat

Komisioner KPAI Diyah Puspitasari

D'On, Tangerang Selatan
-  Suasana di SMP Negeri 19 Tangerang Selatan berubah mencekam setelah kasus perundungan (bullying) berat menimpa salah satu siswanya, MH (13). Bocah kelas tujuh itu kini terbaring lemah di rumah sakit dengan kondisi saraf terganggu akibat pukulan keras yang diterimanya dari teman sekelasnya sendiri.

Tragedi memilukan itu terjadi di ruang kelas sekolah yang terletak di kawasan Ciater, Serpong, pada Senin, 20 Oktober 2025, tepat menjelang jam istirahat. Dari keterangan keluarga, peristiwa itu bermula ketika pelaku yang juga teman sekelas korban mendadak melayangkan pukulan menggunakan bangku besi ke arah kepala MH. Benturan keras itu membuat korban seketika terjatuh dan kehilangan kesadaran.

Orang tua korban, Novianti (36) dan Kusnadi (47), hanya bisa menangis melihat kondisi anak mereka yang harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. “Anak saya sekarang sulit bicara dan sering kejang. Dokter bilang ada gangguan pada sistem sarafnya,” ungkap Novianti lirih saat ditemui awak media.

KPAI Turun Tangan: “Proses Hukum Harus Jalan”

Melihat beratnya dampak yang dialami korban, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) langsung turun tangan. Komisioner KPAI Diyah Puspitasari menegaskan bahwa kasus ini tak bisa lagi ditangani sebatas mediasi sekolah. Ia menilai, penegakan hukum harus dilakukan agar keadilan bagi korban benar-benar ditegakkan.

“Kita akan meminta kalau bisa diproses hukum saja,” tegas Diyah usai mendatangi Mapolres Tangerang Selatan, Selasa (11/11/2025).

Menurut Diyah, penyelesaian di tingkat sekolah seharusnya menjadi langkah awal untuk mencegah terjadinya kekerasan antarsiswa. Namun, ketika kekerasan sudah sampai tahap mengancam keselamatan dan menimbulkan luka berat, maka proses hukum adalah satu-satunya jalan yang adil.

“Ternyata kasus ini belum bisa diselesaikan di internal sekolah. Kalau bisa diselesaikan di sekolah tentu lebih baik, tapi kalau tidak bisa, maka hukum harus berbicara,” ujar Diyah.

Ia menambahkan, undang-undang sudah jelas mengatur perlindungan terhadap anak, baik sebagai korban maupun pelaku. Karena itu, penyidikan dan proses hukum harus tetap berjalan sesuai mekanisme Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sekolah Dinilai Lalai, Perlindungan Anak Jadi Sorotan

Kasus ini menimbulkan sorotan tajam terhadap pihak sekolah. Banyak pihak menilai SMPN 19 Tangsel lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan dan perlindungan terhadap peserta didiknya.
Beberapa siswa bahkan mengaku bahwa tindakan perundungan di sekolah itu bukan kali pertama terjadi, namun sering kali hanya berakhir dengan teguran tanpa tindak lanjut yang tegas.

“Sebelumnya juga ada anak yang sering digoda dan dipukul, tapi guru cuma bilang jangan diulangi. Sekarang malah kejadian lebih parah,” ujar seorang siswa yang enggan disebut namanya.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: seberapa serius sekolah menangani kasus kekerasan di lingkungan pendidikan? Padahal, perundungan bukan sekadar perilaku iseng  tapi bisa berujung pada trauma psikologis dan cedera fisik yang mengubah hidup korban selamanya.

Orang Tua Korban: “Kami Hanya Minta Keadilan”

Keluarga MH kini menggantungkan harapan pada aparat penegak hukum. Mereka berharap pelaku dan pihak yang lalai turut dimintai pertanggungjawaban atas penderitaan anak mereka.

“Kami tidak mau balas dendam, kami hanya ingin keadilan untuk anak kami,” kata Kusnadi dengan suara bergetar.

Kusnadi juga mengaku kecewa karena pihak sekolah sempat mencoba menyelesaikan kasus ini secara internal tanpa melibatkan polisi. “Kalau dari awal ditangani serius, mungkin anak saya tidak harus menderita separah ini,” tambahnya.

Seruan untuk Hentikan Budaya Diam di Sekolah

Kasus MH menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia yang selama ini kerap menutup-nutupi kasus kekerasan di lingkungan sekolah dengan alasan menjaga nama baik institusi. KPAI mengingatkan bahwa budaya diam justru membuat pelaku merasa kebal dan korban semakin terpuruk.

“Perundungan bukan urusan kecil. Sekali kita abai, maka kita membiarkan anak-anak tumbuh dalam ketakutan,” tutup Diyah Puspitasari.

Kini, semua mata tertuju pada langkah hukum yang akan diambil pihak kepolisian. Kasus ini bukan sekadar tentang seorang anak yang menjadi korban kekerasan, tetapi tentang bagaimana negara dan masyarakat berdiri untuk melindungi generasi muda dari kekerasan yang seharusnya tidak pernah terjadi di tempat mereka menimba ilmu.

(B1)

#KPAI #Perudungan #Bullying #Kekerasan #Hukum