Mahasiswi Penyalur Anak buat Dicabuli ke Eks Kapolres Ngada Dijatuhi Hukuman 11 Tahun Penjara
Fani, mahasiswi yang salurkan anak buat eks Kapolres Ngada saat menjalani sidang vonis.
D'On, Kupang,— Di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Kupang, suasana hening mendadak terasa mencekam saat palu hakim diketukkan. Di kursi pesakitan, seorang perempuan muda berusia 21 tahun, Stefani Heidi Doko Rehi yang akrab disapa Fani menunduk dalam diam. Mahasiswi yang sebelumnya dikenal ceria di lingkungannya itu kini menanggung hukuman berat: 11 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar atas perbuatannya yang menyeret seorang anak kecil menjadi korban kejahatan seksual yang dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman.
Vonis itu dijatuhkan Majelis Hakim pada Selasa (21/10) setelah melalui rangkaian sidang panjang yang menyita perhatian publik Nusa Tenggara Timur. Dalam amar putusannya, hakim menegaskan bahwa Fani terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak serta tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Seluruh unsur tindak pidana dalam kedua pasal telah terbukti. Perbuatan terdakwa sangat meresahkan dan merusak masa depan korban,” tegas hakim dalam persidangan.
Hukuman Berat, Denda Fantastis
Tak hanya penjara, majelis hakim juga menghukum Fani untuk membayar denda Rp 2 miliar, dengan ketentuan subsider 1 tahun kurungan, serta membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000.
Hakim menilai, perbuatan terdakwa tidak hanya sekadar melanggar hukum, tetapi juga menciptakan luka psikologis mendalam bagi korban seorang bocah perempuan berusia enam tahun berinisial IS yang kini harus menjalani pemulihan panjang.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut kejahatan ini telah menimbulkan trauma, ketakutan, dan keresahan sosial yang luar biasa di masyarakat.
“Perbuatan terdakwa bertentangan dengan semangat bangsa dalam melindungi anak. Ia turut berperan dalam memfasilitasi kejahatan yang seharusnya tidak pernah terjadi,” ujar hakim dengan nada tajam.
Namun, di tengah vonis berat itu, majelis hakim tetap memberikan satu catatan ringan: usia Fani yang masih muda.
“Terdakwa masih muda dan diharapkan dapat memperbaiki diri di kemudian hari,” kata hakim sebelum mengetukkan palu sidang.
Jejak Gelap di Balik Layar: Dari MiChat ke Hotel
Kisah kelam ini bermula dari pertemuan Fani dengan AKBP Fajar Widyadharma Lukman melalui aplikasi daring MiChat platform yang kerap disalahgunakan untuk praktik prostitusi terselubung. Dari komunikasi singkat, hubungan keduanya berkembang menjadi relasi intim. Mereka beberapa kali bertemu, hingga akhirnya Fajar meminta “tolong” kepada Fani: mencarikan anak perempuan.
Permintaan itu bukan untuk adopsi atau kegiatan sosial — tapi untuk memuaskan hasrat bejat sang perwira polisi.
Menurut pengakuan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT Kombes Patar Silalahi, Fani menyanggupi permintaan tersebut. Ia bahkan menyiapkan “pertemuan” dengan seorang anak kecil dan menetapkan tarif Rp 3 juta.
“Disanggupi oleh F untuk menghadirkan anak tersebut di hotel pada tanggal 11 Juni 2024,” ungkap Patar saat konferensi pers, Kamis (13/3).
Fani lalu membawa korban ke hotel tempat Fajar menginap. Sebelum tindakan cabul terjadi, keduanya sempat membawa korban jalan-jalan dan makan bersama seolah menutupi niat busuk yang sudah direncanakan.
Namun di kamar hotel itulah, kejahatan terjadi. Bocah tak berdosa itu menjadi korban pelecehan yang kemudian mengguncang publik NTT.
Ledakan Amarah Publik dan Runtuhnya Wibawa Polisi
Kasus ini menjadi sorotan nasional, bukan hanya karena melibatkan anak di bawah umur, tetapi juga karena pelaku utamanya adalah mantan Kapolres, sosok yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.
Nama AKBP Fajar Widyadharma Lukman yang dulu dikenal tegas dan berwibawa di lingkungan Polri kini tercoreng oleh tindakan bejat yang memanfaatkan jabatannya.
Masyarakat menilai, peran Fani sebagai “penyalur” dalam kasus ini memperburuk luka moral dan sosial yang ditinggalkan. Ia bukan sekadar perantara, tetapi pintu masuk kejahatan yang merenggut masa kecil seorang anak.
“Ini bukan hanya kejahatan seksual, tapi juga pengkhianatan terhadap kemanusiaan,” ujar seorang aktivis perlindungan anak di Kupang.
Harapan di Balik Vonis
Vonis 11 tahun terhadap Fani menjadi pesan keras bahwa hukum tidak pandang bulu. Namun, bagi korban kecil IS, keadilan sejati mungkin masih jauh.
Pemulihan psikisnya diperkirakan akan memakan waktu panjang, sementara trauma yang ditinggalkan bisa membekas seumur hidup.
Kini, publik menunggu langkah selanjutnya terhadap AKBP Fajar Widyadharma Lukman, sang perwira yang masih menjalani proses hukum terpisah. Banyak pihak mendesak agar hukuman bagi sang eks Kapolres lebih berat dari sekadar pemecatan dan penjara.
Kasus ini menjadi pengingat pahit: di tengah tugas melindungi rakyat, masih ada oknum berseragam yang tega menghancurkan masa depan anak bangsa dan seorang perempuan muda yang memilih jalan kelam demi uang cepat.
(K)
#PencabulanAnak #Kriminal #Polri