Breaking News

LPSK: Korban Keracunan MBG Bisa Tuntut Ganti Rugi, Asal Ada Unsur Pidana

Wakil Ketua LPSK Susilaningtias.

D'On, Jakarta —
Harapan bagi ribuan anak korban keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai terbuka. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan, para korban dapat mengajukan restitusi atau ganti rugi namun dengan satu syarat penting: kasus ini harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai tindak pidana.

Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, menegaskan bahwa pihaknya siap memberikan perlindungan dan pendampingan hukum apabila terbukti ada unsur pidana di balik tragedi keracunan massal tersebut.

“Kalau ada tindak pidananya, dibawa ke ranah pidana, maka korban bisa mengajukan restitusi,” ujar Susilaningtias di Kantor LPSK, Sabtu (4/10/2025).

Hak Korban: Dari Pengobatan Hingga Pemulihan Psikologis

Lebih lanjut, Susilaningtias menjelaskan bahwa korban tidak hanya berhak menuntut ganti rugi materiil. Dalam banyak kasus serupa, LPSK juga dapat menyalurkan bantuan biaya pengobatan dan pemulihan psikologis bagi korban dan keluarga yang terdampak.

“Mungkin bantuan biaya pengobatan misalnya, atau pemulihan psikologis, karena itu hak korban. Tapi harus ada tindak pidana dulu. Selama ini kasus keracunan MBG belum dibawa ke ranah pidana, jadi untuk saat ini kami belum bisa memproses,” tegasnya.

Dengan kata lain, LPSK masih menunggu hasil penyelidikan aparat penegak hukum untuk menentukan langkah selanjutnya.
Namun, lembaga ini membuka pintu selebar-lebarnya bagi laporan masyarakat, baik dari korban langsung maupun pihak keluarga.

“Kami terbuka menerima pengaduan atau permohonan. Setelah itu akan kami telaah lebih lanjut. Syarat utamanya, satu, kasus ini memang ada tindak pidana yang diungkap; dan dua, memang benar-benar korban,” jelasnya.

Tragedi MBG: 6.457 Anak Jadi Korban

Kasus keracunan massal program MBG kini menjadi sorotan nasional. Berdasarkan data Badan Gizi Nasional (BGN), sebanyak 6.457 anak di seluruh Indonesia terdampak insiden ini.
Angka itu bukan sekadar statistik  di baliknya ada ribuan keluarga yang cemas, anak-anak yang terbaring di rumah sakit, dan sistem distribusi makanan yang kini dipertanyakan akuntabilitasnya.

Kepala BGN, Dadan Hindayana, dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Senayan, Jakarta, Rabu (1/10/2025), merinci sebaran korban berdasarkan wilayah:

  • Wilayah I (Sumatera): 1.307 anak mengalami gangguan pencernaan.
  • Wilayah II (Pulau Jawa): 4.147 anak terdampak, ditambah 60 kasus baru di Garut.
  • Wilayah III (Indonesia Timur): 1.003 anak dilaporkan mengalami gejala serupa.

“Jadi totalnya mencapai 6.457 anak yang mengalami keracunan dalam program MBG ini,” ungkap Dadan di hadapan anggota DPR.

Krisis Kepercayaan terhadap Program Nasional

Program Makan Bergizi Gratis sejatinya diluncurkan pemerintah untuk menekan angka kekurangan gizi anak dan memperkuat ketahanan pangan keluarga. Namun, tragedi keracunan ini justru menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap sistem pengawasan dan distribusi makanan yang seharusnya aman untuk dikonsumsi anak-anak sekolah.

Para orang tua di sejumlah daerah kini menuntut kejelasan: siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan kualitas bahan pangan? Apakah ada kelalaian pihak penyedia, ataukah ini akibat lemahnya sistem pengawasan?

Pertanyaan-pertanyaan itu kini menggantung di udara  sementara ribuan anak masih menjalani perawatan medis akibat mengonsumsi makanan yang seharusnya menyehatkan, bukan mencelakai.

Langkah Berikutnya: Menunggu Ranah Hukum

LPSK menegaskan kembali, restitusi hanya bisa diberikan jika ada proses hukum yang berjalan. Artinya, penentuan apakah kasus ini merupakan kelalaian administratif atau tindak pidana akan sangat menentukan nasib ribuan korban dan keluarganya.

Jika aparat penegak hukum menemukan bukti kuat adanya pelanggaran pidana  misalnya kesengajaan, kelalaian berat, atau manipulasi dalam pengadaan bahan makanan  maka korban bisa mendapatkan hak ganti rugi, pemulihan, serta perlindungan hukum penuh dari LPSK.

“Begitu ada unsur pidana, kami akan turun mendampingi korban. Prinsip kami jelas  korban tidak boleh dibiarkan sendiri,” pungkas Susilaningtias.

Kasus keracunan MBG bukan sekadar soal kesehatan, tapi juga cerminan bagaimana kebijakan publik dijalankan di lapangan. Ketika program mulia berubah menjadi tragedi nasional, keadilan bagi korban bukan hanya soal kompensasi, tapi juga soal akuntabilitas negara terhadap rakyatnya.

(B1)

#LPSK #KeracunanMBG #Nasional #MakanBergiziGratis