Yusril Tegaskan UU 1956 dan Perjanjian Helsinki Tak Bahas Batas 4 Pulau Sengketa Aceh-Sumut
Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam acara peluncuran laporan tahunan 2024 Ombudsman, di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Kamis (22/5/2025).
D'On, Jakarta – Polemik status kepemilikan empat pulau kecil di perairan antara Aceh dan Sumatera Utara memanas. Empat pulau tersebut Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang kini menjadi titik sengketa antara dua provinsi bertetangga itu, menyusul penetapan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mencatatnya sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara.
Namun Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, angkat suara dan menegaskan bahwa baik Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 maupun Perjanjian Helsinki 2005 tidak dapat dijadikan landasan hukum untuk menentukan batas kepemilikan atas keempat pulau yang kini disengketakan.
"Enggak bisa dijadikan rujukan. Jalur Undang-Undang 1956 juga tidak dapat dipakai. Kami sudah pelajari itu," ujar Yusril saat ditemui di Sawangan, Depok, Minggu (15/6).
Yusril menjelaskan, UU Nomor 24 Tahun 1956 memang mengatur pembentukan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, namun tidak secara eksplisit menyebut atau mengatur keberadaan maupun status wilayah pulau-pulau kecil tersebut.
"Undang-undang pembentukan Provinsi Aceh tahun 1956 itu menyebut bahwa Aceh terdiri atas wilayah ini dan itu, tapi tidak menyebutkan batas-batas teritorial secara rinci, apalagi menyebut nama keempat pulau itu secara spesifik. Jadi dari sisi hukum formal, itu belum bisa jadi pegangan," lanjutnya.
JK Pegang UU 1956 dan Helsinki sebagai Dasar Aceh
Berbeda pandangan dengan Yusril, mantan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK), justru menilai bahwa UU Nomor 24 Tahun 1956 dan Perjanjian Helsinki justru dapat dijadikan referensi dalam menentukan batas wilayah Aceh.
Dalam konferensi pers di kediamannya di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (13/6), JK menyatakan bahwa perbatasan Aceh seharusnya mengacu pada batas wilayah per 1 Juli 1956, sebagaimana termuat dalam kesepakatan damai Helsinki antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Di Pasal 1.1.4 Perjanjian Helsinki disebutkan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan tanggal 1 Juli 1956. Artinya, rujukan batas itu ya pada konteks saat UU itu berlaku," jelas JK.
Ia juga menegaskan bahwa Undang-Undang pembentukan Aceh dan Sumatera Utara yang disahkan pada masa Presiden Soekarno harus dijadikan landasan historis dan yuridis dalam menyikapi konflik batas wilayah tersebut.
“Itu perjanjian yang menjadi dasar damai. Kalau tidak dihormati, ya susah juga menjaga komitmen negara,” tegas JK.
Kemendagri: Masih Kaji Dokumen Historis dan Fakta Lapangan
Sementara itu, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, mengungkapkan bahwa pihaknya masih menelaah secara menyeluruh semua dokumen yang terkait, termasuk UU 1956 dan naskah Perjanjian Helsinki.
"Akan kita pelajari lagi semua dokumen yang ada. Karena di UU No. 24 Tahun 1956 itu pun tidak secara detail mengatur batas," kata Bima.
Ia menyebutkan bahwa memang benar dokumen Helsinki hanya menyebutkan "perbatasan Aceh merujuk pada batas wilayah per 1 Juli 1956", namun tidak menjabarkan secara rinci titik koordinat atau peta wilayah yang bisa langsung digunakan sebagai acuan teknis.
"Di dokumen Helsinki tidak ada batas yang dijelaskan secara detail. Itu butuh penjabaran lebih lanjut," ucapnya.
Bima juga menyatakan bahwa sampai saat ini, belum ada garis batas laut resmi yang ditetapkan antara Aceh dan Sumatera Utara, khususnya di sekitar keempat pulau yang dipermasalahkan. Pihaknya saat ini masih melakukan pengumpulan data-data geografis, administratif, dan historis.
“Batas laut memang belum dipatok secara teknis. Kita juga masih mengumpulkan data dan fakta yang ada di lapangan, termasuk peta-peta lama,” jelasnya.
Sengketa yang Bisa Berujung Potensi Konflik?
Sengketa batas wilayah, meski terlihat administratif, bukan hal sepele. Selain menyangkut otoritas pemerintahan lokal, masalah ini juga bisa berdampak pada alokasi dana, potensi pendapatan daerah dari sektor laut, hingga kontrol keamanan wilayah.
Pengamat hukum tata negara dan otonomi daerah, Prof. Zainal Arifin Mochtar, menilai bahwa kasus ini bisa menjadi preseden penting dalam penyelesaian konflik tapal batas di Indonesia yang masih sering terjadi antar provinsi atau kabupaten/kota.
"Penting untuk menafsirkan kembali UU 1956 dan dokumen Helsinki secara kontekstual dan dengan data geografis mutakhir. Jangan hanya pakai pendekatan administratif, tapi juga historis dan sosiologis," jelas Zainal.
Pemerintah pusat diharapkan mampu bersikap netral dan adil dalam menangani kasus ini, serta mengedepankan prinsip mediasi dan dialog, bukan pendekatan sepihak berdasarkan dokumen birokratis semata.
Catatan: Konflik perbatasan antardaerah merupakan isu laten yang masih terus muncul di berbagai wilayah Indonesia. Dengan kompleksitas sejarah, politik, dan administrasi yang menyertainya, penyelesaiannya menuntut kehati-hatian dan keterbukaan semua pihak.
(Mond)
#SengketaPulauAcehdanSumut #Nasional #YusrilIhzaMahendra