Breaking News

"Saya Lapar, Pak" Kisah di Balik Teriakan ‘Teroris’ di Halte Taman Anggrek

Polsek Grogol Petamburan berhasil mengamankan terduga pelaku penganiayaan ringan dan penghinaan kepada penumpang Transjakarta. Foto: Instagram/@humaspolsekgrogolpetamburan

D'On, Jakarta
— Kamis pagi yang tampaknya biasa di Halte TransJakarta Taman Anggrek, Jakarta Barat, berubah menjadi momen menegangkan ketika seorang pria lanjut usia berteriak memaki seorang perempuan dengan sebutan "teroris." Peristiwa itu sontak memicu kecaman warganet setelah video kejadian menyebar luas di media sosial. Namun di balik kemarahan itu, terungkap sebuah kisah pilu tentang kesendirian, tekanan hidup, dan perut yang kosong.

Pertemuan yang Menyingkap Latar Belakang

Polisi dari Polsek Grogol Petamburan bertindak cepat setelah laporan diterima. Pria lansia berinisial JH (69) segera diamankan. Namun ketika pria tua itu duduk di ruang penyidik, bukan arogansi atau pembelaan yang ia sampaikan, melainkan sebuah pengakuan sederhana namun menyayat: "Saya lapar, Pak."

Menurut Kanit Reskrim Polsek Grogol Petamburan, AKP Aprino Tamara, JH mengaku emosinya tidak stabil saat insiden terjadi. “Dia tersulut emosi, dan dari pengakuannya, itu dipicu oleh berbagai tekanan yang menumpuk,” ujar Aprino saat ditemui pada Senin (9/7).

Perut Kosong dan Pikiran yang Berat

Bukan tanpa alasan pria 69 tahun itu kehilangan kendali. Dalam pengakuannya kepada penyidik, JH mengatakan belum makan sejak pagi. Lebih dari itu, dia juga tengah memikirkan biaya tempat tinggal yang belum ia bayarkan. Sebuah beban yang mungkin terasa sepele bagi sebagian orang, namun beratnya bisa membuat seseorang kehilangan kendali.

"Saya lapar, Pak, belum makan dari pagi," ujar JH kepada polisi. "Saya juga lagi kepikiran uang kos yang belum saya bayar, dan saya buru-buru kejar ambil bansos, Pak."

Tiga alasan itu lapar, khawatir akan tempat tinggal, dan kejar bantuan sosial menciptakan badai emosional dalam diri seorang pria tua yang menjalani hidup tanpa keluarga yang mendampingi.

Hidup dalam Kesendirian

JH diketahui tinggal seorang diri. Tidak ada keluarga atau kerabat yang bisa menjadi tempatnya bersandar. Kondisinya menggambarkan potret buram dari lansia yang terlupakan mereka yang hidup dalam sunyi dan perjuangan sehari-hari yang nyaris tak terdengar.

Ketika ia akhirnya dipertemukan dengan korban di kantor polisi, suasana yang semula tegang berubah menjadi haru. Permintaan maaf disampaikan, dan korban pun, dengan hati terbuka, menerima permintaan damai. Kasus ini pun diselesaikan secara restorative justice, sebuah pendekatan yang lebih mengedepankan pemulihan hubungan sosial daripada hukuman.

"Sudah selesai secara kekeluargaan," jelas AKP Aprino.

Potret Wajah Lain dari Ketimpangan Sosial

Kisah JH bukan sekadar insiden di halte bus. Ini adalah cermin dari realita yang lebih luas: ketimpangan sosial, tekanan hidup ekonomi, dan keterasingan yang dialami oleh banyak orang tua di kota besar. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kadang, kemarahan bukan selalu lahir dari kebencian, tetapi dari rasa lapar, kelelahan, dan keputusasaan.

Masyarakat berhak marah atas tindakan JH. Namun, setelah tabir penyebabnya tersingkap, mungkin kita juga harus merenung: berapa banyak lagi “JH” lain di luar sana yang berjalan sendirian, menahan lapar, dan menghadapi hidup tanpa sandaran?

(K)

#Peristiwa #Viral