Breaking News

Fadli Zon Klarifikasi Soal Pemerkosaan Massal 1998: "Tak Ada Bukti Kuat, Jangan Asumsikan Sejarah"

Menteri Kebudayaan Fadli Zon 

D'On, Jakarta –
Pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 kembali mengundang polemik. Dalam sebuah klarifikasi resmi yang dirilis Senin (16/6/2025), Fadli menyatakan bahwa pernyataannya bukan bertujuan menyangkal adanya kekerasan seksual pada periode kelam tersebut, melainkan menekankan pentingnya pendekatan akademik dan legal yang ketat dalam menafsirkan sejarah nasional.

"Sejarah harus bersandar pada bukti yang kuat dan teruji, baik secara hukum maupun akademik," tegas Fadli dalam pernyataan tertulisnya. "Apalagi jika menyangkut istilah sensitif seperti ‘pemerkosaan massal’, yang bukan hanya berdampak pada persepsi sejarah, tetapi juga membentuk karakter kolektif bangsa di mata generasi mendatang."

Pernyataan Awal yang Picu Kontroversi

Polemik ini bermula dari pernyataan Fadli dalam sebuah podcast yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada Jumat (13/6/2025). Dalam podcast tersebut, Fadli menyatakan keraguannya terhadap kebenaran narasi pemerkosaan massal pada Mei 1998, menyebut bahwa hingga kini tidak ada bukti konkret yang mendukung klaim tersebut.

"Ada pemerkosaan massal, betul enggak ada pemerkosaan massal? Pemerkosaan massal kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak ada," ucap Fadli dalam potongan pernyataannya yang viral.

Ia juga menambahkan bahwa sejarah tidak boleh dikonstruksi atas dasar rumor atau narasi yang belum diverifikasi. Menurutnya, rumor-rumor seperti itu hanya akan memperkeruh suasana dan memperdalam luka bangsa tanpa menyentuh akar persoalan.

Klarifikasi: Kritik pada Terminologi, Bukan Penyangkalan Peristiwa

Dalam klarifikasinya, Fadli Zon menjelaskan bahwa maksud dari ucapannya adalah untuk mengajak masyarakat terutama sejarawan dan akademisi agar berhati-hati dalam menggunakan istilah "pemerkosaan massal". Bagi Fadli, penggunaan istilah tersebut sebaiknya dikaji ulang karena masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” jelasnya.

Ia juga mengutip laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada masa reformasi. Menurutnya, meskipun laporan itu menyebut adanya kekerasan seksual, namun tidak disertai dengan rincian data seperti nama korban, waktu kejadian, lokasi, atau pelaku. Hal ini, menurutnya, memperkuat perlunya kehati-hatian dalam mengklaim skala peristiwa tersebut.

“Jangan Abaikan Penderitaan Korban”

Meski meragukan terminologi "massal", Fadli menegaskan bahwa dirinya tidak menutup mata terhadap adanya kekerasan seksual yang terjadi di tengah kekacauan Mei 1998. Ia menegaskan, semua bentuk kekerasan seksual adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.

"Segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” ujar Fadli.

Ia juga mengajak publik untuk lebih bijak dan empatik dalam membicarakan sejarah. "Perlu ada kepekaan, bukan hanya terhadap fakta sejarah, tapi juga terhadap luka-luka yang masih belum sepenuhnya sembuh."

Respons Publik & Kritik

Pernyataan Fadli ini memicu gelombang kritik dari aktivis perempuan, akademisi, dan kelompok hak asasi manusia. Banyak yang menilai bahwa klarifikasi tersebut terkesan defensif dan bisa dianggap sebagai bentuk pengaburan atas trauma kolektif korban kekerasan seksual saat kerusuhan 1998.

Beberapa pengamat juga menyoroti urgensi pembentukan kembali tim pencari fakta independen yang bisa menggali kebenaran sejarah dengan pendekatan yang lebih modern, sensitif gender, dan berpihak pada korban.

Menggali Kembali Luka Lama

Tragedi Mei 1998 meninggalkan banyak luka baik secara politik, sosial, maupun psikologis. Tindak kekerasan terhadap etnis Tionghoa, termasuk pembakaran, penjarahan, dan kekerasan seksual terhadap perempuan, masih menjadi bagian dari sejarah Indonesia yang belum selesai dituliskan.

Pertanyaan tentang berapa jumlah korban, siapa pelaku, dan bagaimana negara bertanggung jawab masih terus menggantung. Klarifikasi Fadli Zon, meskipun mengundang debat, membuka kembali ruang diskusi: bagaimana sebaiknya sejarah ditulis dan siapa yang berhak menuliskannya?

(Mond)

#FadliZon #PerkosaanMassal #Nasional