Breaking News

Desi Erianti Meninggal Setelah Ditolak IGD RSUD Rasidin, Keluarga Pertanyakan Standar Kegawatdaruratan

Direktur RSUD dr Rasidin Padang, dr Desy Susanty, MKes.

D'On, Padang
Sabtu (31/5/2025) dini hari yang dingin itu menjadi saksi bisu dari sebuah tragedi yang menggugah nurani. Desi Erianti (53), seorang ibu rumah tangga asal Kota Padang, datang dengan harapan mendapatkan pertolongan medis di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr. Rasidin. Namun, harapan itu pupus di balik pintu rumah sakit, yang justru menjadi gerbang terakhir dalam perjalanan hidupnya.

Kedatangan Desi ke RSUD Rasidin terjadi pada Sabtu (31/5/2025) dini hari, dalam kondisi tubuh yang melemah. Keluarganya membawa ia dengan penuh kecemasan, berharap segera mendapatkan penanganan dari petugas medis. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan awal oleh tim medis jaga, ia dinyatakan tidak dalam kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan IGD.

Direktur RSUD dr. Rasidin, dr. Desy Susanty, M.Kes, dalam keterangannya pada Sabtu sore, menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya Desi Erianti. Ia menegaskan bahwa keputusan dokter jaga saat itu telah mengikuti prosedur medis yang berlaku.

“Kami turut berduka cita atas meninggalnya almarhumah Desi Erianti. Berdasarkan pemeriksaan medis oleh dokter jaga saat itu, tidak ditemukan tanda-tanda kegawatdaruratan. Karena itu, pasien disarankan untuk kontrol ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau Puskesmas pada keesokan harinya,” ujar dr. Desy, dikutip dari Padek co

Namun, tak lama setelah meninggalkan RSUD Rasidin tanpa penanganan lanjutan, keluarga membawa Desi ke RSU Siti Rahmah. Di sanalah Desi menghembuskan napas terakhir, hanya beberapa saat setelah kedatangannya.

Kabar duka ini mengguncang pihak keluarga, terutama Yudi, saudara almarhumah yang juga seorang jurnalis di Padang Ekspres. Ia tak dapat menyembunyikan kekecewaannya atas keputusan RSUD Rasidin yang menolak menangani Desi di IGD.

“Saudara saya meninggal di RS Siti Rahmah. Saya sangat menyesalkan penolakan dari IGD RSUD Rasidin. Kami datang membawa KIS, tapi tetap ditolak karena dianggap tidak gawat darurat. Kalau ingin ditangani, harus lewat jalur umum, itu yang disampaikan,” ujar Yudi dengan suara bergetar.

Kartu Indonesia Sehat yang Tak Menjamin Akses Gawat Darurat

Kisah ini mengangkat kembali perdebatan lama: bagaimana rumah sakit mendefinisikan "gawat darurat"? Bagaimana nasib pasien yang berada di ambang antara “belum kritis” dan “terlambat”? Dan bagaimana posisi pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS) dalam sistem layanan kesehatan yang kadang kaku dan administratif?

Menurut Yudi, pihak keluarga sempat menjelaskan kondisi Desi yang memburuk secara cepat. Namun, karena tidak memenuhi kriteria kegawatdaruratan versi medis IGD, pelayanan tidak diberikan, dan mereka diarahkan untuk kembali di pagi hari ke Puskesmas. Penjelasan mengenai skema pembiayaan pun menjadi batu sandungan lain  layanan KIS hanya berlaku jika pasien dianggap dalam kondisi gawat darurat. Jika tidak, pasien diminta menggunakan jalur umum, yang artinya membayar dari kantong pribadi.

“Ketika kami datang, harapan kami hanya satu: diselamatkan. Tapi yang kami dapat hanyalah penolakan administratif. Kami tidak bicara soal biaya dulu, karena nyawa lebih penting,” kata Yudi lirih.

Bukan Kasus Pertama: Sorotan terhadap Pelayanan Kesehatan di Padang

Tragedi Desi Erianti bukan yang pertama. Sejumlah kasus serupa sempat mencuat di berbagai wilayah, di mana pasien tidak diterima IGD karena "tidak memenuhi kriteria gawat darurat", namun kemudian meninggal dunia setelahnya. Perbedaan sudut pandang antara keluarga pasien dan petugas medis sering kali menjadi sumber konflik dan krisis kepercayaan terhadap sistem layanan kesehatan.

Publik pun kini mulai mempertanyakan kembali sistem triase dan protokol penanganan di IGD. Apakah definisi kegawatdaruratan selama ini terlalu sempit? Apakah ada ruang untuk kebijakan yang lebih manusiawi dalam mengambil keputusan?

Menanti Evaluasi dan Perbaikan

Kematian Desi Erianti menjadi pelajaran mahal dan menyakitkan bagi banyak keluarga, terutama yang mengandalkan KIS sebagai satu-satunya akses ke pelayanan kesehatan. Di tengah semangat universal health coverage (UHC), kasus seperti ini menjadi paradoks yang memprihatinkan.

Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Dinas Kesehatan Kota Padang terkait insiden ini. Namun, desakan dari masyarakat dan kalangan pemerhati kesehatan agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem triase IGD dan perlakuan terhadap pasien KIS semakin menguat.

Desi Erianti telah pergi. Namun kisahnya menjadi pengingat: bahwa di balik setiap prosedur, ada manusia. Dan di balik setiap penolakan, bisa saja ada kesempatan terakhir yang terlewat.

(*)

#Viral #Peristiwa #RSUDRasidin #Padang