Breaking News

Dedi Mulyadi Dilaporkan ke Bareskrim karena Kirim Anak ke Barak Militer: "Bukan Bentuk Pendidikan, Tapi Kekerasan Terselubung"

Adhel Setiawan di kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (5/6/2025).

D'On, Jakarta –
Suasana Gedung Bareskrim Polri, Kamis pagi (5/6/2025), tampak tak seperti biasanya. Seorang pria berkemeja putih dengan wajah serius dan suara lantang melangkah tegas menuju ruang pengaduan. Dialah Adhel Setiawan, seorang wali murid asal Bekasi yang datang membawa satu misi: melindungi anak-anak dari kebijakan yang dinilainya melanggar hukum dan hak asasi manusia.

Adhel bukan aktivis, bukan politisi. Dia hanyalah seorang ayah yang resah. Dan keresahannya hari itu menuntunnya untuk melaporkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke Bareskrim Polri atas kebijakan kontroversial sang gubernur: mengirim anak-anak yang dianggap ‘bermasalah’ ke barak militer untuk “dibentuk karakternya”.

"Saya Adhel Setiawan, orang tua murid di Kabupaten Bekasi. Hari ini saya resmi melaporkan Gubernur Jawa Barat ke Bareskrim karena kebijakan yang menempatkan anak-anak dalam barak militer. Kebijakan itu menurut saya tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan undang-undang,” ujar Adhel kepada awak media di depan gedung Bareskrim.

Anak-Anak Dikirim ke Barak Militer: Bentuk Disiplin atau Kekerasan Psikologis?

Kebijakan yang dimaksud adalah program pembinaan anak melalui pola militeristik, yang diterapkan oleh Pemprov Jabar dalam beberapa bulan terakhir. Anak-anak yang dinilai mengalami gangguan perilaku seperti bolos, berkelahi, hingga membangkang dipisahkan dari lingkungan sekolah dan dikirim ke barak pelatihan bergaya militer. Di sana, mereka digunduli, mengenakan seragam loreng, dan menjalani latihan fisik berat seperti merangkak di tanah berlumpur.

“Mana ada pembentukan karakter anak digunduli, disuruh merangkak di tanah kotor, pakai baju militer? Itu bukan pendidikan karakter. Itu intimidasi yang dibungkus slogan,” ucap Adhel, penuh emosi.

Meski anaknya tidak termasuk dalam daftar peserta program tersebut, Adhel merasa perlu turun tangan. Ia menganggap kebijakan ini bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya.

“Saya justru bertindak sebelum anak saya jadi korban. Saya percaya pencegahan jauh lebih penting daripada penyesalan,” tambahnya.

Pasal demi Pasal: UU Perlindungan Anak Jadi Dasar Pelaporan

Adhel tidak datang dengan tangan kosong. Dalam laporannya, ia menyertakan dokumen kronologi, bukti-bukti tertulis, hingga acuan hukum yang dianggap dilanggar. Salah satu pasal yang ia soroti adalah Pasal 76H Undang-Undang Perlindungan Anak, yang secara eksplisit melarang keterlibatan anak dalam kegiatan militer atau berbau militer.

“Pasal itu jelas. Anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam bentuk apapun yang menyerupai kegiatan militer. Dan ini jelas-jelas berbau militer. Bahkan berlebihan,” tegasnya.

Adhel juga mengaku telah lebih dulu melaporkan kasus ini ke Komnas HAM, dan kini melanjutkannya ke jalur pidana dengan harapan adanya tindak lanjut konkret dari penegak hukum.

“Komnas HAM sudah saya datangi. Tapi sembari menunggu prosesnya di sana, saya juga ingin polisi menyelidiki kemungkinan ada unsur pidana dari kebijakan ini. Ini bukan hanya soal etika, tapi soal hukum,” jelasnya.

Kebijakan Tanpa Dasar Hukum dan Kajian Psikologi Anak

Salah satu aspek yang sangat disoroti oleh Adhel adalah tidak adanya landasan hukum yang sah dalam pelaksanaan program tersebut. Menurutnya, seluruh kebijakan hanya berpijak pada surat edaran, tanpa payung hukum yang kuat atau kajian dari ahli psikologi anak.

“Masa kebijakan sepenting ini hanya berdasarkan surat edaran? Tidak ada peraturan daerah, tidak ada keterlibatan psikolog, tidak ada pedoman baku. Ini jelas kebijakan yang sembrono,” ujar Adhel.

Ia juga menyebut bahwa sistem pendidikan seharusnya fokus pada pendekatan pedagogis, bukan militeristik, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang.

Bareskrim Menanggapi: Proses Pemanggilan Segera Dilakukan

Pihak Bareskrim Polri disebut sudah menerima laporan tersebut dan tengah melakukan proses administrasi awal. Menurut Adhel, ia diminta untuk kembali dalam waktu dekat guna menghadiri gelar perkara awal, di mana akan ditentukan apakah laporan tersebut memenuhi unsur pidana yang bisa ditindaklanjuti.

“Kemungkinan dalam seminggu ini saya akan dipanggil untuk gelar perkara. Di situ akan ditentukan apa saja kekurangan bukti dan bagaimana kelanjutan laporannya,” ujarnya.

“Bukan Sekadar Lapor, Ini Bentuk Perlawanan Sipil”

Laporan Adhel bukan hanya soal satu kebijakan, tapi juga menjadi simbol perlawanan warga terhadap pendekatan kekuasaan yang dianggap otoriter dalam dunia pendidikan. Ia ingin memberikan pesan bahwa rakyat tidak tinggal diam melihat kebijakan yang merugikan generasi masa depan.

“Anak-anak bukan kelinci percobaan. Kalau orang tua diam saja, siapa lagi yang akan bersuara?” tutupnya.

Catatan Redaksi: Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemprov Jawa Barat maupun Gubernur Dedi Mulyadi belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan tersebut. Tim kami masih berupaya menghubungi pihak terkait untuk mendapatkan klarifikasi.

(B1)

#DediMulyadi #KDM #BareskrimPolri