Breaking News

Sejarah Rivalitas Bonek vs Aremania Berpangkal dari Musik Hingga jadi Media Darling

Dirgantaraonline,- Tragedi kerusuhan suporter yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu 1 Oktober malam, masih menyisakan duka mendalam.


Lanjutan kompetisi Liga 1 antara Arema dan Persebaya menelan korban jiwa.

Sedikitnya 182 orang tewas berdesakan dan kekurangan oksigen karena terkenal gas air mata.

Tak ayal, ini menjadi sejarah buruk dalam olahraga yang seharusnya dijadikan ajang untuk berkompetisi dengan penuh sportivitas.

Rivalitas Bonek dan Aremania, sebutan masing-masing pendukung kedua kesebelasan memang sudah berlangsung sejak lama

Dirgantaraonline.co.id, merangkum sejarah rivalitas terpanas antara dua suporter asal kota Jawa Timur ini dalam ulasan berikut yang dikutip dari berbagai macam sumber.

1. Pangkal Pemicu

Dikutip dari beberapa sumber rivalitas kedua suporter ini dipicu oleh gengsi daerah. Masing-masing suporter menganggap klub kebanggaan kotanya lebih kuat dan lebih hebat.

Selain itu konflik kedua kubu ini tidak lepas dari sejarah dan kultur sosial masyarakat masing-masing kota.

Malang secara demografis adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, namun seiring perkembangannya pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga jaman Orde Baru telah membawa kemajuan yang sangat pesat bagi kota ini.

Kemajuan ini membuat masyarakat Malang merasa mampu bersaing dan menyaingi kota Surabaya yang lebih dahulu menyandang predikat kota Metropolitan.

Surabaya yang selalu dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka.

Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo.

Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya.

2. Awal Mula Bentrokan

Berdirinya Armada 86 yang kemudian berevolusi menjadi PS Arema pada tahun 1987 membuat konflik semakin kedua suporter mulai mendidih. Dalam kompetisi Perserikatan, Persema dan Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar suporter di Jawa Timur.

Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama, suhu itu kian memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya.

Semifinal Galatama tahun 1992 yang mempertandingkan PS Arema Malang melawan PS Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan tonggak sejarah baru konflik Aremania-Bonek.

Arek Malang (saat itu belum bernama Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca kekalahan Arema Malang dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu akhirnya mengangkut mereka dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari kerusuhan dengan Bonek.

Kejadian di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di Surabaya. Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik.

Peristiwa ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan lawatan ke Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM.

Keberanian Aremania untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya melawan Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat kata-kata saja.

3. Kesepakatan Damai

Kondisi rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat keduanya menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok suporter tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema dan Persebaya.

Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda Jatim bersama kedua pemimpin kelompok suporter tersebut ditandatangani di Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999.

Semenjak tahun 1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.

Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya. Tragedi Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih adanya permusuhan kedua elemen ini.

Kala itu pertandingan antara tuan rumah Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion Delta Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII.

Karena dekatnya jarak Surabaya-Sidoarjo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan tersebut.

Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania.

Kondisi ini membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek dengan aparat.

Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan lemparan balasan ke arah Bonek.

Aremania pun harus dievakuasi keluar stadion dengan truk-truk dari kepolisian.

4. Konflik di Luar Sepakbola

Konser Kantata Tambaksari

Konser Kantata Takwa yang digelar di stadion Tambaksari, Surabaya pada 23 Januari 1990 berubah menjadi arena pertempuran arek-arek Malang dan arek-arek Suroboyo.

Arek-arek Malang berdiri dan berkumpul serta menguasai posisi depan panggung pada sekitar 30 menit pertama, sambil meneriakkan kata-kata “Arema… Arema.. Arema…!” Kondisi ini membuat arek-arek Suroboyo yang sejatinya adalah tuan rumah menyingkir dari depan panggung.

Namun tidak berlangsung lama, arek-arek Suroboyo kemudian berinisiatif untuk bersatu dan memukul mundur hingga mengusir arek-arek Malang keluar dari stadion Tambaksari.

Bentrok pun akhirnya berlanjut di luar stadion hingga arek-arek Malang sampai ke stasiun Gubeng.

Konser Sepultura Tambaksari

Konser Sepultura yang dilangsungkan di stadion Tambaksari, Surabaya pada tahun 1992 kembali menjadi ajang bentrokan para Aremania dan Bonek. Namun kali ini arek-arek Suroboyo telah lebih dulu siap dan menguasai sisi depan panggung.

Arek-arek Malang yang datang dan ikut menonton konser langsung dihalau untuk memasuki stadion Tambaksari, hingga akhirnya kedua kubu terlibat bentrok di luar stadion.

5. Klub Persebaya media Darling Jatim

Versi yang berkembang di masyarakat, rivalitas terjadi karena kecemburuan pihak Aremania karena pemberitaan media-media Jawa Timur.

Hal ini karena media provinsi Jatim jarang membuat pemberitaan kemenangan Arema atau Persema saat kedua tim juara.

Media dinilai melakukan diskriminasi sebab mereka selalu gencar mengekspos berita tentang Persebaya. 

Bahkan berita mengenai Persebaya sering menjadi headline meski tim hanya melakukan latihan ringan.

Diduga karena hal ini, para suporter mulai jengah.


(Mond)



#Rivalitas #Persebaya #Arema #Sepakbola #Olahraga