Muhammad Padang, Dari Pengasingan Paderi ke Kursi Gubernur Maluku

Muhammad Padang, Gubernur Maluku Ketiga
Dirgantaraonline - Di antara gelombang sejarah Nusantara, ada nama-nama yang lahir dari persilangan takdir, pengasingan, dan perlawanan. Muhammad Padang adalah salah satunya seorang anak Maluku yang membawa darah Minangkabau, cucu pejuang Paderi yang dibuang Belanda, dan pemimpin daerah yang mengabdikan hidupnya bagi Maluku.
Identitas yang Lahir dari Pengasingan
Muhammad Padang lahir pada tahun 1914 di Saparua, Maluku Tengah sebuah pulau kecil yang sejak abad ke-19 menjadi saksi pahit kolonialisme Belanda. Namun akar sejarahnya tidak berhenti di sana. Di balik nama “Padang” yang ia sandang, tersimpan jejak panjang perlawanan Minangkabau terhadap kolonialisme.
Ia adalah cucu dari Pakih Haji Nurdin, bergelar Pusako Baginda Bungsu, seorang tokoh Perang Padri dari Koto Anau, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Pakih Haji Nurdin merupakan bagian dari generasi ulama dan pejuang yang menentang dominasi Belanda dalam Perang Padri (1803–1837), sebuah konflik besar yang bukan sekadar perang senjata, tetapi juga pertarungan ide, agama, dan kedaulatan.
Akibat perlawanan itu, Pakih Haji Nurdin ditangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Saparua pada tahun 1881. Pengasingan ini menjadi titik balik sejarah keluarga. Di tanah pembuangan itulah ia menetap, menikah, dan membangun keturunan. Dari sinilah marga “Padang” mulai digunakan oleh generasi penerusnya di Maluku sebagai penanda asal-usul dan memori perjuangan.
Muhammad Padang lahir sebagai anak Maluku, namun tumbuh dengan kesadaran sejarah Minangkabau perpaduan identitas yang kelak membentuk karakter kepemimpinannya.
Pendidikan dan Kesadaran Politik Awal
Muhammad Padang mengenyam pendidikan dasar di Saparua, lalu melanjutkan pendidikan menengah di Ambon. Sejak muda, ia dikenal sebagai pribadi cerdas, disiplin, dan memiliki minat kuat pada persoalan sosial-politik.
Pada masa itu, Maluku bukan wilayah yang terpisah dari pergolakan nasional. Ide-ide kebangsaan mulai masuk melalui guru, organisasi pemuda, dan perantauan ke Jawa. Muhammad Padang pun mengikuti arus zaman: merantau ke Jawa, pusat pergerakan nasional Indonesia.
Di sanalah kesadaran politiknya tumbuh matang.
Aktivis Pemuda dan Pejuang Revolusi
Ketika Indonesia memasuki masa revolusi fisik (1945–1949), Muhammad Padang tidak tinggal diam. Ia aktif dalam berbagai organisasi pemuda, antara lain:
- Angkatan Pemuda Indonesia (API-Ambon)
- Pemuda Republik Indonesia (PRI-Ambon)
Melalui organisasi-organisasi ini, ia terlibat langsung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk keterlibatan dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya—salah satu pertempuran paling heroik dalam sejarah Indonesia.
Bagi Muhammad Padang, perjuangan bukan semata angkat senjata, tetapi juga membangun kesadaran politik rakyat Maluku sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia.
Dari Aktivis ke Parlemen Nasional
Pasca-revolusi, Muhammad Padang memasuki dunia politik formal. Ia bergabung dengan Partai Politik Maluku (Parpim) dan dengan cepat dipercaya menjadi salah satu tokoh representatif Maluku di tingkat nasional.
Karier politiknya meliputi:
- Wakil Maluku di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
- Anggota DPR Republik Indonesia Serikat (DPRS)
Di parlemen, ia dikenal sebagai figur yang kritis, tegas, namun berorientasi persatuan. Ia gigih memperjuangkan:
- Otonomi daerah
- Pembangunan kawasan timur Indonesia
- Perhatian negara terhadap Maluku pasca-konflik dan ketertinggalan infrastruktur
Ia tidak membawa Maluku sebagai daerah pinggiran, melainkan sebagai bagian sah dari jantung Republik.
Gubernur Maluku ke-3: Estafet Sejarah Minang–Maluku
Pada tahun 1960, Muhammad Padang diangkat sebagai Gubernur Maluku ke-3, menggantikan Muhammad Djosan.
Pengangkatan ini mencatatkan fakta sejarah yang unik:
Dua gubernur Maluku berturut-turut berdarah Minangkabau
- Muhammad Djosan (1955–1960)
- Muhammad Padang (1960–1965)
Namun Muhammad Padang tidak pernah memerintah sebagai “orang luar”. Ia adalah putra Maluku, lahir dan besar di tanah itu, memahami denyut sosial dan luka sejarah rakyatnya.
Pembangunan dan Warisan Intelektual
Di tengah keterbatasan pasca-kemerdekaan, Muhammad Padang fokus pada pembangunan institusi, bukan sekadar proyek jangka pendek. Salah satu warisan terbesarnya adalah peran aktifnya dalam pendirian Universitas Pattimura (Unpatti) pada tahun 1962.
Ia tercatat sebagai:
- Salah seorang pendiri Universitas Pattimura
- Anggota Presidium Unpatti
Bagi Muhammad Padang, pendidikan adalah jalan panjang pembebasan senjata paling ampuh untuk memutus rantai keterbelakangan di Maluku.
Akhir Pengabdian dan Jejak Sejarah
Muhammad Padang menjabat sebagai Gubernur Maluku hingga tahun 1965. Tahun itu pula ia wafat, meninggalkan jejak sebagai:
- Pejuang kemerdekaan
- Politisi nasional
- Gubernur yang membangun dari pinggiran
- Pewaris darah Paderi yang setia pada Republik
Ia adalah jembatan sejarah: antara Minangkabau dan Maluku, antara pengasingan kolonial dan kepemimpinan republik, antara perlawanan bersenjata dan pembangunan peradaban.
Warisan yang Melampaui Geografi
Muhammad Padang membuktikan bahwa identitas Nusantara tidak dibatasi oleh pulau atau suku. Ia adalah produk sejarah panjang kolonialisme, perlawanan, dan persatuan.
Dari Koto Anau ke Saparua, dari pengasingan ke kursi gubernur, kisah Muhammad Padang adalah cermin Indonesia itu sendiri: terluka, beragam, namun teguh memperjuangkan masa depan.
Penulis: Osmond Abu Khalil
#Sejarah #Tokoh #MuhammadPadang