Mahyeldi Bantah Terbitkan Izin Perusahaan Perusak Lingkungan, WALHI: Jangan Saling Cuci Tangan di Tengah Krisis Ekologis Sumbar
D'On, PADANG — Di tengah sorotan publik atas rangkaian bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra Barat, Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah angkat bicara. Ia menegaskan tidak pernah memberikan izin kepada perusahaan yang diduga terlibat dalam kerusakan lingkungan selama masa kepemimpinannya sebagai gubernur.
Pernyataan itu disampaikan Mahyeldi saat mendampingi Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di Universitas Negeri Padang.
“Tidak ada kita mengizinkan. Sejak saya jadi gubernur tidak pernah mengizinkan. Kalau ada yang mengatakan demikian, silakan bawa buktinya,” ujar Mahyeldi.
Mahyeldi juga menegaskan bahwa kewenangan perizinan kehutanan bukan berada di tangan pemerintah provinsi, melainkan pemerintah pusat.
“Saya rasa itu kewenangannya di pusat,” katanya singkat.
Satgas PKH Selidiki Perusahaan dan Individu di Sumbar
Pernyataan Mahyeldi muncul di saat Satuan Tugas Perlindungan Kawasan Hutan (Satgas PKH) tengah mengusut dugaan keterlibatan perusahaan dan individu dalam kerusakan ekologi yang diduga berkontribusi pada bencana alam di Sumbar.
Satgas PKH sebelumnya mengumumkan tengah mendalami puluhan perusahaan yang beroperasi di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh. Bahkan, satu perusahaan telah dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan oleh Bareskrim Polri.
Komandan Satgas Garuda PKH, Mayjen TNI Dody Triwinarno, menyebutkan secara khusus terdapat 14 perusahaan lokal di Sumbar yang sedang didalami.
“Diperkirakan ada 14 dari tiga wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi penyebab,” ujar Dody kepada awak media, Senin (15/12/2025).
Ketiga DAS tersebut diketahui berada di wilayah rawan banjir dan longsor yang belakangan menelan korban jiwa dan kerugian besar.
Kejagung Periksa Individu, Perusahaan Masih Diselidiki
Tak hanya perusahaan, aparat penegak hukum juga menelusuri peran individu. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, mengungkapkan pihaknya tengah memeriksa dua orang berinisial AZ dan S.
“Perorangan ada atas nama AZ dan S,” kata Anang.
Keduanya diduga melakukan pembukaan lahan ilegal di kawasan DAS Air Dingin, Kuranji, dan Anai—wilayah yang dikenal sebagai kawasan penyangga ekologis penting di Sumbar. Selain itu, terdapat sembilan perusahaan lain yang masih berada pada tahap penyelidikan.
WALHI Sumbar: Negara Tidak Boleh Lepas Tangan
Pernyataan Mahyeldi yang menyebut perizinan berada di tangan pusat langsung menuai kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumbar. Direktur WALHI Sumbar, Wengki Purwanto, menilai narasi saling lempar kewenangan justru mengaburkan tanggung jawab negara atas krisis ekologis yang terjadi.
“Gubernur Sumbar dan Menteri Kehutanan adalah aktor negara utama yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Sumbar. Tidak semestinya saling melepaskan tanggung jawab,” tegas Wengki.
WALHI menyoroti bahwa meski izin final berada di pusat, rekomendasi pemerintah daerah kerap menjadi pintu awal eksploitasi kawasan hutan.
Rekomendasi Izin yang Dipersoalkan
WALHI mencatat, pada Februari 2021, Gubernur Sumbar merekomendasikan izin usaha hasil hutan kayu seluas 43.591 hektare di Kabupaten Solok Selatan kepada PT Bumi Rangkiang Sejahtera. Rekomendasi itu diajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Masalahnya, di dalam kawasan tersebut terdapat enam izin perhutanan sosial yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.
Selain itu, Pemprov Sumbar juga pernah merekomendasikan pemanfaatan kawasan hutan seluas 25.325 hektare di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, kepada PT Sumber Permata Sipora wilayah yang dikenal memiliki kerentanan ekologis tinggi.
Jejak Panjang Alih Fungsi Hutan dan Tambang Ilegal
Data WALHI menunjukkan bahwa kerusakan hutan di Sumbar bukanlah fenomena baru. Dalam kurun 1990–2014, sekitar 158.831 hektare hutan dialihfungsikan untuk 29 perusahaan besar perkebunan. Sebagian perusahaan tersebut belakangan diketahui melakukan pembukaan kebun sawit secara ilegal.
Hingga tahun 2020, total kawasan hutan Sumbar yang dibebani izin eksploitasi mulai dari hutan tanaman industri hingga pertambangan mencapai lebih dari 250 ribu hektare.
Sementara itu, aktivitas tambang emas ilegal dilaporkan telah merusak sedikitnya 7.662 hektare lahan di empat kabupaten: Solok Selatan, Solok, Sijunjung, dan Dharmasraya.
Pemprov Sumbar sendiri pernah mengakui keberadaan 200 hingga 300 titik tambang ilegal, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp9 triliun.
Rencana Tambang Rakyat Dinilai Perluasan Masalah
Sorotan WALHI tak berhenti di situ. Rencana Pemprov Sumbar pada 2025 untuk mengusulkan 17.700 hektare lahan—yang dibagi dalam 496 blok—sebagai wilayah pertambangan rakyat di 10 kabupaten/kota dinilai berpotensi memperluas eksploitasi sumber daya alam.
Menurut WALHI, kebijakan tersebut berisiko memperparah krisis ekologis yang belum pulih sepenuhnya.
“Bencana banjir dan longsor hari ini adalah akumulasi kerusakan lintas generasi akibat tata kelola sumber daya alam yang tidak adil dan lemahnya pengawasan,” ujar Wengki.
Ia menegaskan, momentum bencana seharusnya menjadi titik balik.
“Jangan lagi berebut cuci tangan, tetapi berebut untuk bertanggung jawab. Audit lingkungan dan pemulihan ekosistem harus segera dilakukan.”
Di tengah duka dan kerusakan yang terus berulang, publik kini menunggu: siapa benar-benar bertanggung jawab, dan sejauh mana negara berani membongkar akar krisis ekologis di Sumatra Barat.
(T)
#SumateraBarat #BencanaEkologi #WALHI
