Breaking News

“HULU” Menyusuri Asal: Pameran Seni Rupa di Sumatera Barat Hadirkan Dialog Kosmologi Dunia


D'On, PADANG
— Dari pangkal sungai hingga puncak gunung, dari mitologi Mesir Kuno hingga filsafat Nusantara, tema asal kembali dipertanyakan melalui bahasa visual. Pameran Seni Rupa bertajuk “HULU: Dialog Lintas Peradaban Dunia” resmi digelar di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat, menghadirkan ruang kontemplasi tentang makna hulu sebagai sumber kehidupan, pengetahuan, dan spiritualitas manusia.

Pameran yang berlangsung 16–30 Desember 2025 ini diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat melalui UPTD Taman Budaya, dan menjadi pameran seni rupa ketujuh sepanjang tahun 2025. Sebanyak 38 karya seni murni dipamerkan, melibatkan perupa dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jakarta, Yogyakarta, hingga Kalimantan Selatan.

Lebih dari sekadar pameran visual, Hulu dirancang sebagai ruang dialog lintas peradaban, menggali bagaimana konsep “awal” dimaknai oleh berbagai kebudayaan dunia dan Nusantara, lalu diolah ulang oleh seniman dalam konteks kehidupan kontemporer.

Hulu: Dari Geografi Menuju Kosmologi

Kurator pameran, Iswandi Bagindo Parpatiah dan Dio Pamola, menempatkan hulu bukan hanya sebagai istilah geografis, melainkan sebagai metafora kosmologis, epistemologis, sekaligus etis. Dalam naskah kuratorial dijelaskan, hampir semua peradaban besar dunia menempatkan hulu pangkal sungai, gunung, atau sumber air sebagai titik sakral yang menghubungkan manusia dengan asal-usul kehidupan.

Peradaban Mesir Kuno memaknai hulu Sungai Nil sebagai misteri kosmik, sumber kesuburan yang tak kasat mata. Di India, hulu Sungai Gangga di Himalaya dipercaya sebagai tempat turunnya amrita, air keabadian. Tiongkok menempatkan hulu Sungai Kuning sebagai pangkal tatanan sosial dan politik, sementara peradaban Maya dan Aztek melihat gunung dan cenote sebagai poros yang menghubungkan dunia atas, tengah, dan bawah.

Dalam konteks Nusantara, makna hulu hidup dalam berbagai ungkapan dan orientasi budaya: tahu di hulu persoalan di Minangkabau, berakit-rakit ke hulu sebagai alegori ketekunan, orientasi kaja–kelod di Bali, hingga filsafat Jawa sangkan paraning dumadi yang menekankan kesadaran akan asal dan tujuan hidup manusia.

Seni sebagai Mata Air Makna

Pameran Hulu memposisikan simbol sebagai “mata air” yang mengalir ke dua arah pemikiran. Pertama, simbol sebagai pintu masuk untuk membaca persoalan sosial, budaya, dan ekologis. Kedua, simbol sebagai alat untuk menciptakan pertanyaan baru yang kritis dan relevan dengan zaman.

Dalam karya-karya yang dipamerkan, pengunjung dapat menemukan perahu yang tak lagi sekadar alat transportasi, melainkan simbol migrasi dan krisis ekologi; gunung yang bukan hanya lanskap, tetapi pusat energi kosmos; hingga elemen air yang menjadi metafora ingatan kolektif dan spiritualitas.

Karya Alberto yang Akan Ditampilkan dalam Pagelaran HULU


Komentar Alberto: Hulu Adalah Sikap, Bukan Sekadar Tema

Salah satu seniman peserta, Alberto, menyebut pameran Hulu sebagai pengalaman reflektif yang menantang cara pandang seniman terhadap praktik berkarya.

“Bagi saya, hulu bukan sekadar tema pameran, tapi sikap berpikir. Ia memaksa kita bertanya: dari mana gagasan ini berasal, dan ke mana ia akan mengalir,” ujar Alberto.

Menurutnya, di tengah derasnya globalisasi seni dan komodifikasi budaya, seniman sering terjebak pada bentuk dan pasar, lupa pada akar pengetahuan dan nilai yang melahirkan karya.

“Hulu mengingatkan bahwa seni bukan hanya soal kebaruan visual. Ada akar kosmologi, memori, dan etika yang seharusnya tetap kita sadari. Ketika akar itu diputus, karya bisa kehilangan daya hidupnya,” kata Alberto lugas.

Ia juga menilai pameran ini penting karena tidak membatasi tafsir seniman, justru memberi ruang kebebasan yang bertanggung jawab.

“Di pameran ini, kami tidak diarahkan untuk ‘seragam’. Hulu justru membuka kemungkinan. Setiap seniman bebas menafsir asal-usulnya masing-masing, entah itu personal, budaya, atau ekologis. Di situ dialognya hidup,” tambahnya.

Dukungan Pemerintah dan Harapan ke Depan

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, Dr. H. Jefrinal Arifin, SH., M.Si, dalam sambutannya menegaskan bahwa karya seni adalah aset kebudayaan yang merekam identitas bangsa. Menurutnya, pameran Hulu sejalan dengan semangat Merdeka Belajar dan kemerdekaan berkarya, di mana seniman diberi ruang untuk menghadirkan gagasan dan proses kreatif secara utuh.

Ia berharap pameran ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi, tetapi juga ruang belajar bagi masyarakat untuk memahami seni sebagai refleksi sejarah, nilai, dan tantangan kehidupan masa kini.

Seni yang Menggugat, Bukan Memberi Jawaban Pasti

Pameran Hulu tidak menawarkan jawaban tunggal tentang asal-usul. Sebaliknya, ia hadir sebagai “pengganggu produktif” mengguncang kebiasaan membaca realitas, memantik dialog, dan mendorong publik untuk menafsir ulang relasi mereka dengan alam, budaya, dan diri sendiri.

Seperti aliran sungai yang bermula dari hulu, makna-makna dalam pameran ini dibiarkan mengalir, bercabang, dan bertemu dengan pengalaman masing-masing pengunjung. Dari sanalah seni menemukan fungsinya: bukan sekadar indah, tetapi hidup.

(Mond) 

#SeniLukis #Budaya #SumateraBarat #PagelaranSeniLukis