Ketika Rakyat Menggalang Rp 10,3 Miliar, Negara Disebut Kalah Viral Sindiran Anggota DPR di Tengah Banjir Besar Sumatra

Anggota Komisi I DPR Endipat Wijaya. (Sumber foto: Laman Partai Gerindra).
D'On, Jakarta - Di tengah luka yang masih menganga akibat banjir dan longsor besar di Sumatra, satu fakta mencuat ke permukaan: solidaritas rakyat bergerak lebih cepat dan lebih viral dibandingkan kerja negara. Fakta inilah yang memicu nada tinggi Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Gerindra, Endipat Wijaya, dalam rapat kerja bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Di hadapan pejabat Komdigi, Endipat tak menutupi kekecewaannya. Ia menilai pemerintah telah bekerja keras sejak hari pertama bencana, menggelontorkan anggaran hingga triliunan rupiah, mengerahkan TNI, Polri, BNPB, hingga membuka ratusan posko. Namun semua itu, katanya, tenggelam oleh narasi viral penggalangan dana masyarakat yang nilainya “hanya” Rp 10 miliar.
“Orang-orang cuma nyumbang Rp 10 miliar, negara sudah triliun-triliunan ke Aceh itu, Bu. Tapi publik tahunya justru yang Rp 10 miliar itu,” sindir Endipat tajam.
Menurutnya, masalah utama bukan pada kerja lapangan, melainkan kegagalan negara dalam mengomunikasikan kinerjanya sendiri. Ia mendesak Komdigi agar tidak sekadar bekerja administratif, tetapi menjadi “mesin propaganda positif” bagi kinerja pemerintah di tengah isu sensitif nasional seperti bencana.
“Komdigi harus tahu isu sensitif nasional dan membantu pemerintah mengamplifikasi informasi, supaya enggak kalah viral,” tegasnya.
“Yang Datang Sekali, Terlihat Paling Bekerja”
Sindiran Endipat semakin keras ketika menyinggung fenomena relawan yang datang sekali ke lokasi bencana, namun di media sosial tampil seolah menjadi aktor utama penolong korban.
“Ada orang yang cuma datang sekali, tapi seolah-olah paling bekerja di Aceh,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa negara hadir sejak jam-jam pertama bencana terjadi. Bahkan, kata Endipat, TNI Angkatan Udara langsung mengirim 4–5 pesawat pada hari pertama. Namun, karena minim publikasi, kehadiran negara justru tertutup oleh narasi “pemerintah lamban”.
“Padahal pemerintah sudah bikin ratusan posko. Tapi dibilang negara enggak hadir. Ini karena kita kalah dalam menginformasikan,” tambahnya.
Saat Ferry Irwandi Mengguncang Ruang Publik
Di sisi lain, aksi kemanusiaan content creator Ferry Irwandi justru menggema luar biasa di ruang publik. Dalam waktu hanya 24 jam, ia bersama jaringan NGO dan relawan berhasil menggalang dana Rp 10,3 miliar sebuah angka yang memicu kekaguman sekaligus perdebatan nasional.
Setibanya di Medan, jalur udara paling memungkinkan ke wilayah terdampak, Ferry langsung bergerak.
“Kita membawa 2,6 ton hari ini dan akan disusul yang lain. Fokus utama kita adalah titik-titik yang memang minim bantuan yang terisolasi,” kata Ferry kepada wartawan, Kamis (4/12/2025).
Berbeda dari bantuan konvensional, tim Ferry memilih pendekatan berbasis kebutuhan riil korban. Mereka membawa makanan siap saji bergizi, bukan mi instan semata. Mereka juga menyalurkan pampers, alat menyusui, pakaian dalam, pembalut, hingga perlengkapan perempuan dan anak kebutuhan yang sering luput dari distribusi besar-besaran.
Krisis air bersih pun menjadi fokus utama. Tim relawan turun langsung mencari alat filter dan terminal air bersih ke daerah-daerah yang benar-benar terisolasi.
Distribusi di Wilayah “Terabaikan”
Tidak berhenti di pusat kota, Ferry dan tim memprioritaskan wilayah hilir dan pedesaan seperti Tamiang dan Desa Tualang, Langkat, daerah yang menurut mereka jarang tersentuh bantuan karena jauh dari sorotan kamera.
Perjalanan mereka tidak mudah. Ferry mengungkapkan bagaimana mencari angkutan udara menjadi tantangan berat.
“Kemarin kita sempat kesulitan sekali menemukan angkutan udara karena traffic nol koma rame.”
Akhirnya, bantuan datang dari DitPolairud yang mengangkut 2,5 ton logistik, serta dukungan pengamanan dari Polda Sumatra Utara dan bantuan logistik dari relawan lokal di Medan.
Bukan Melawan Negara, Tapi Menguatkan Sistem
Menariknya, di tengah viralitas besar yang memicu sindiran DPR, Ferry justru menegaskan bahwa gerakannya bukan untuk menyaingi negara.
“Yang dibutuhkan itu sinergi semua orang TNI, BNPB, relawan, masyarakat supaya sistem itu benar, semua terkoneksi,” katanya.
Ia juga menyampaikan pesan yang mengena kepada pemerintah:
“Enggak semua orang yang mengkritik pemerintah itu benci. Kadang, bentuk peduli yang paling tinggi itu kritik.”
Dua Kekuatan, Satu Tujuan, Tapi Berbeda Panggung
Peristiwa ini memperlihatkan paradoks kemanusiaan Indonesia hari ini:
Negara bekerja dengan sistem, anggaran raksasa, dan struktur lengkap.
Rakyat bergerak dengan kecepatan, empati, dan kekuatan viral.
Negara hadir dengan triliunan rupiah.
Rakyat hadir dengan Rp 10 miliar—tapi mengguncang persepsi publik.
Bukan soal siapa paling berjasa, melainkan siapa yang paling terlihat.
Di tengah puing-puing bencana Sumatra, konflik narasi ini menjadi pengingat bahwa di era digital, kerja besar tanpa komunikasi bisa kalah oleh aksi kecil yang viral. Dan ketika negara mulai “tersindir” oleh solidaritas rakyatnya sendiri, satu hal menjadi terang: informasi kini sama pentingnya dengan bantuan itu sendiri.
(L6)
#BencanaSumatera #Viral #DPR #Gerindra #FerryIrwandi