Jerit Sunyi dari Wih Dusun Jamat: Tiga Pekan Terisolir Pascabanjir, Warga Aceh Tengah Kian Terjepit

Kondisi wilayah terdampak bencana banjir di Aceh Tengah. (Foto: istimewa)
D'On, ACEH TENGAH — Di balik perbukitan Kecamatan Linge yang hijau dan sunyi, jerit kemanusiaan terdengar lirih namun penuh keputusasaan. Sudah lebih dari tiga pekan berlalu sejak banjir bandang dan longsor menerjang Kemukiman Wih Dusun Jamat, namun hingga kini, akses jalan menuju wilayah tersebut masih terputus total. Empat desa hilang tersapu arus, ratusan warga terisolasi, dan harapan mereka kian menipis.
“Sudah 25 hari, kami sudah tidak sanggup lagi,” ucap Sertalia, warga Kampung Jamat, dengan suara bergetar. Kalimat itu bukan sekadar keluhan melainkan jeritan panjang dari sebuah komunitas yang merasa dilupakan. Pernyataan tersebut disampaikan Sertalia sebagaimana dikutip dari Antara, Minggu (21/12/2025).
Desa yang Terputus dari Dunia Luar
Kampung Jamat menjadi salah satu desa yang terdampak paling parah. Akses jalan utama menuju desa itu amblas dan tertutup material longsor. Sejak hari pertama bencana, warga praktis terputus dari dunia luar. Tidak ada kendaraan yang bisa masuk. Tidak ada jalur evakuasi yang layak. Yang tersisa hanyalah jalan setapak darurat hasil gotong-royong warga itu pun rawan runtuh setiap saat.
“Kami bukan mau mengemis. Kami hanya minta jalan kami dibuka, supaya kami bisa berusaha sendiri,” ujar Sertalia. Baginya dan warga lainnya, akses jalan adalah urat nadi kehidupan bukan sekadar fasilitas.
Tanpa jalan, bahan pangan sulit masuk. Obat-obatan hampir tidak ada. Anak-anak, lansia, dan warga sakit hanya bisa bertahan dengan persediaan seadanya. Beberapa keluarga bahkan mulai mengurangi porsi makan demi bertahan hidup.
Bantuan Datang, Tapi Jauh dari Cukup
Warga mengakui sempat menerima bantuan logistik. Namun jumlahnya sangat terbatas dan tidak sebanding dengan kebutuhan ratusan jiwa yang terdampak.
“Bantuan ada, tapi tidak cukup. Kami bertahan hari demi hari,” kata Sertalia lirih.
Sudah tiga pekan pascabencana, namun menurut warga, belum terlihat langkah nyata perbaikan akses jalan atau pemulihan wilayah oleh pemerintah. Kondisi ini membuat warga semakin terjepit, baik secara fisik maupun mental.
Tenaga Habis, Harapan Menipis
Dalam keterbatasan, warga hanya bisa mengandalkan tenaga sendiri. Gotong-royong menjadi satu-satunya pilihan.
“Tenaga kami sudah habis,” ujar Sertalia.
“Dari hari pertama kami buat tenda pengungsian sendiri, mengumpulkan barang-barang yang masih bisa dipakai, membuka jalan darurat, bahkan membuat jembatan seadanya.”
Namun upaya itu bukan tanpa risiko. Tanah masih labil. Hujan kerap turun. Setiap langkah terasa seperti berjudi dengan nyawa.
Empat Desa Hilang, Sungai Baru Terbentuk
Bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi tiga pekan lalu bukan sekadar merusak, tetapi menghapus empat desa dari peta. Kampung Jamat, Kute Reje, Delung Sekinel, dan Kampung Reje Payung kini tak lagi seperti sebelumnya.
“Desa kami sudah berubah jadi aliran sungai,” kata Sertalia, menahan emosi.
“Rumah-rumah hilang, kebun lenyap, dan tanah yang dulu kami pijak sekarang hanya batu dan lumpur.”
Sebanyak 120 kepala keluarga dari empat desa tersebut kini hidup di pengungsian. Mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan kepastian masa depan.
Menunggu Negara Hadir
Bagi warga Wih Dusun Jamat, waktu terasa berjalan sangat lambat. Setiap hari tanpa akses jalan berarti ancaman kelaparan, penyakit, dan keputusasaan yang semakin nyata.
“Kami hanya ingin bisa hidup normal kembali. Tolong buka akses jalan kami,” harap Sertalia.
Di tengah sunyi pegunungan Aceh Tengah, jerit warga Wih Dusun Jamat menunggu jawaban. Menunggu kehadiran negara yang bukan hanya datang membawa bantuan sesaat, tetapi juga solusi nyata agar mereka bisa bangkit, berdiri, dan melanjutkan hidup dengan martabat.
(L6)
#BanjirAceh #Peristiwa #Aceh