Breaking News

Jejak Inkompetensi di Balik Banjir Bandang Sumatra Barat, Sumut, dan Aceh

Penulis: Osmond Abu Khalil 

Dirgantaraonline
- Banjir bandang di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh dalam beberapa waktu terakhir kembali mengoyak kehidupan ribuan warga. Rumah hanyut, jalan putus, hutan tersapu mati, dan keluarga kehilangan segalanya dalam hitungan menit. Setiap bencana memunculkan narasi resmi: “intensitas hujan tinggi”, “cuaca ekstrem”, “fenomena alam”.

Namun dari penelusuran di lapangan, wawancara dengan para ahli, dan rekaman kebijakan selama bertahun-tahun, muncul pola lain yang lebih mengkhawatirkan:

bencana ini bukan hanya produk alam, melainkan hasil dari rangkaian keputusan tidak kompeten yang dibiarkan menumpuk.

Ketika Sungai Dipersempit Tanpa Perhitungan

Di beberapa kabupaten di Sumatra Barat, warga menyebut fenomena yang mereka lihat dengan istilah sederhana: sungai yang dulu lebar, kini jadi lorong air. Dalam investigasi ke hulu, tampak jelas penyempitan alur sungai akibat proyek-proyek yang disetujui tanpa kajian hidrologi memadai.

Seorang mantan teknisi lapangan yang enggan disebut namanya mengatakan:

“Kami sudah laporkan bahwa jalur air tidak boleh disentuh. Tapi atasan bilang: izin sudah keluar, proyek harus jalan.

Inilah wajah inkompetensi yang paling telanjang:
keputusan tentang air dibuat oleh mereka yang tidak memahami air.

Hutan yang Hilang tanpa Ada yang Benar-Benar Mengerti Risikonya

Di Sumut dan Aceh, alur ketinggian menunjukkan pola sama: hutan penahan air menghilang. Perizinan dibuka, penebangan berlangsung, dan ruang resapan hilang satu per satu.

Yang mengejutkan dari penelusuran dokumen adalah inkonsistensi analisis dampak lingkungan. Ada dokumen Amdal yang disahkan tanpa tim ahli, ada yang ditandatangani oleh pejabat yang tidak memiliki latar belakang lingkungan sama sekali.

Seorang akademisi kehutanan yang kami temui berkata:

“Masalah kita bukan hanya pelanggaran. Masalah kita adalah orang yang meneken izin bahkan tidak tahu apa yang ia tanda tangani.”

Inkompetensi seperti ini bergerak diam-diam, seolah tidak berbahaya padahal dampaknya mencapai desa-desa yang kini tinggal puing.

Perdebatan Batas Bencana: Alam atau Kebijakan?

Saat banjir bandang terjadi di Lembah Anai, Kabupaten Karo, Tapanuli, Aceh Tengah, dan wilayah lain, narasi resmi menyalahkan cuaca. Tapi fakta fisik menunjukkan hal lain:

  • bukit yang gundul,
  • daerah aliran sungai yang kacau,
  • proyek infrastruktur yang dibangun di zona merah,
  • saluran air disempitkan oleh bangunan,
  • retakan tanah yang diabaikan sejak survei awal.

Ini bukan sekadar kelalaian.
Ini rangkaian keputusan yang diambil oleh orang yang tidak mengerti risiko dan tidak mau bertanya pada mereka yang mengerti.

Kejahatan bisa dihentikan, tapi inkompetensi tidak mengenal rem.
Ia terus melaju karena pelakunya percaya bahwa keputusannya “sudah benar”. 

Suara Para Korban: “Kami Bukan Takdir, Kami Korban Kebijakan”

Di sebuah pos pengungsian di Sumbar, seorang ibu menggendong bayinya sambil menatap puing rumahnya yang hanyut. Ia berkata pelan:

“Kalau ini karena hujan, kami terima. Tapi kalau karena keputusan mereka… siapa yang tanggung?”

Warga lain di Aceh bahkan lebih tegas:

“Ini bukan bencana alam. Ini bencana yang lahir dari meja-meja kantor.”

Di Sumut, seorang tokoh masyarakat menunjukkan foto-foto daerah hulu sebelum dan sesudah izin pembukaan lahan keluar. Perbedaan kontras itu berbicara sendiri.

Yang hilang bukan hanya tanah, tetapi juga kepercayaan.

Akar dari Semua Ini: Inkompetensi yang Berpakaian Kebijakan

Dari rangkaian investigasi ini, garis besarnya jelas:

  • Banyak keputusan lingkungan dibuat oleh pejabat yang tidak memiliki kompetensi teknis.
  • Kajian ilmiah sering diabaikan demi “percepatan proyek”.
  • Peringatan dari ahli dilewatkan.
  • Risiko besar dipikul oleh masyarakat kecil bukan oleh pengambil keputusan.

Inilah bentuk inkompetensi paling berbahaya:
yang tidak hanya merugikan keuangan, tetapi merenggut nyawa.

Pertanyaan yang Mesti Dijawab Publik

Setelah semua yang terjadi, kita perlu bertanya bukan hanya apa penyebab banjir bandang, tetapi siapa yang membuat wilayah-wilayah itu rentan.

Pertanyaannya sederhana, tetapi menentukan masa depan:

Apakah bencana ini lahir dari pelaku yang sengaja merusak,
atau dari mereka yang tidak tahu apa yang mereka lakukan 
tetapi memegang kuasa menentukan nasib jutaan jiwa?

Sebab jika sumbernya adalah inkompetensi,
maka bencana berikutnya tinggal menunggu hujan berikut turun.

Dan selama ketidaktahuan tetap diberi mandat,
air akan terus mengalir membawa bukan hanya lumpur,
melainkan juga harga dari keputusan-keputusan yang salah.

Penulis: Osmond Abu Khalil 

#Opini