Dua Pernyataan ’Blunder’ Soal Banjir Sumatera yang Memantik Gejolak Publik

Banjir bandang di Tapanuli Selatan, Sumut
D"On, Jakarta - Di tengah duka panjang bencana banjir bandang dan longsor yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, publik dikejutkan oleh dua pernyataan pejabat tinggi negara yang justru menambah keruh suasana. Satu berasal dari Kementerian Kehutanan, satunya lagi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dua komentar itu sontak memicu gelombang kritik. Bukan semata karena dianggap tidak sensitif, tetapi karena muncul pada saat masyarakat masih sibuk mengubur kerabat, mencari orang hilang, dan berdesakan di tenda pengungsian.
Awal Kekisruhan: Video Kayu Gelondongan yang Mengalir di Tengah Banjir
Semuanya bermula dari video yang beredar luas di media sosial: kayu-kayu besar hanyut tak berdaya di aliran banjir deras di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah.
Video itu memantik kecurigaan lama: apakah banjir kali ini diperparah oleh praktik pembalakan liar dan deforestasi yang tak pernah benar-benar hilang dari perbukitan Sumatera?
Warganet ramai menunjukkan gambar-gambar kayu yang tampak “terpotong rapi” bahkan membentuk pola bekas gergaji. Tuduhan pun mengarah pada praktek penebangan dan pencucian kayu ilegal dengan memanfaatkan dokumen-dokumen tanah.
Pernyataan Pertama: “Kayu Lapuk Terseret Banjir” Pemicu Kontroversi
Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kemenhut, Dwi Januanto Nugroho, kemudian memberikan keterangan awal. Menurutnya, dugaan sementara kayu tersebut merupakan pohon lapuk atau pohon tumbang alami yang terseret banjir, bukan hasil pembalakan.
Ia juga menyebut kayu itu kemungkinan besar berasal dari Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di Areal Penggunaan Lain (APL) — wilayah di luar kawasan hutan yang bisa dimiliki atau dikelola pihak swasta.
“Kita deteksi bahwa itu dari PHAT di APL… mekanismenya mengikuti regulasi kehutanan, termasuk SIPU,” ujarnya, 28 November 2025.
Namun ketika ditanya apakah mungkin kayu itu berasal dari modus pencucian kayu ilegal, ia menjawab:
“Tidak mengesampingkan… kita sinyalir ke situ.”
Pernyataan campur-aduk ini justru memantik kritik tajam. Banyak yang menganggap penjelasan tersebut terlalu cepat menyimpulkan “tumbang alami”, sementara visual kayu menunjukkan ciri-ciri penebangan.
Media sosial pun ramai: “Mana ada kayu tumbang alami terpotong seragam begini?”
Gelombang kritik semakin besar ketika publik mengingat deretan kasus illegal logging yang selama bertahun-tahun menghantui daerah-daerah tersebut.
Pernyataan Kedua: “Banjir Mencekam Hanya di Sosmed” Tuduhan Meremehkan Situasi
Tak berselang lama, Kepala BNPB Suharyanto ikut menyampaikan pernyataan yang tak kalah memicu kemarahan publik.
Dalam konferensi pers, ia mengatakan bahwa pemerintah tidak menetapkan banjir dan longsor Sumatera sebagai bencana nasional, dengan membandingkan skala bencana tersebut dengan tsunami 2004 dan pandemi Covid-19.
Namun yang paling memicu reaksi publik adalah pernyataannya yang menyinggung kesan awal bencana:
“Kemarin kelihatannya mencekam ya, tapi begitu sampai ke sini sekarang… yang lain relatif.”
Ungkapan ini dianggap meremehkan penderitaan warga, terlebih ketika korban meninggal masih terus bertambah, akses ke banyak desa terputus, dan ribuan pengungsi belum mendapatkan layanan dasar.
Konteks yang Memperkeruh: Lonjakan Korban Jiwa
Hingga 1 Desember 2025, data resmi BNPB melaporkan:
- 442 orang meninggal dunia
- 402 orang masih hilang
Rinciannya:
- Aceh: 96 meninggal, 75 hilang
- Sumatera Utara: 217 meninggal, 209 hilang
- Sumatera Barat: 129 meninggal, 118 hilang
Sementara pengungsi mencapai lebih dari 140 ribu jiwa, tersebar di puluhan kabupaten/kota.
Dalam situasi segenting ini, dua pernyataan pejabat negara terasa seperti catatan sumbang di tengah orkestra duka.
Klarifikasi yang Memanjang: Upaya Meredakan Keruhnya Air
Setelah kritik tak terbendung, Dwi Januanto akhirnya memberikan klarifikasi lebih komprehensif.
Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak menutup mata terhadap kemungkinan keterlibatan skema illegal logging, termasuk manipulasi dokumen PHAT untuk meloloskan kayu dari kawasan hutan.
Dwi juga membeberkan sederet kasus penanganan kayu ilegal di sepanjang 2025:
- Aceh Tengah: 86,60 m³ kayu ilegal
- Solok, Sumbar: 152 batang kayu + alat berat
- Mentawai & Gresik: 4.610 m³ kayu bulat bermasalah
- Sipirok: 44,25 m³ kayu dengan dokumen PHAT palsu/beku
Ia menggambarkan bagaimana jaringan kejahatan kehutanan kini beroperasi lebih rumit:
pemalsuan dokumen, penyamaran asal kayu, hingga rekayasa alur dana.
Permintaan Maaf Terbuka: "Saya Tidak Mengira Sebesar Ini"
Kepala BNPB Suharyanto akhirnya meminta maaf secara langsung kepada Bupati Tapanuli Selatan, Gus Irawan, setelah melihat sendiri dampak lapangan yang jauh lebih buruk dari ekspektasinya.
“Saya mohon maaf, Pak Bupati. Bukan berarti kami tak peduli.”
Ia mengakui bahwa situasi di Tapanuli ternyata jauh lebih parah dan berjanji bahwa pemerintah pusat akan membantu penuh.
Penutup: Dua Pernyataan, Banyak Pertanyaan
Kisruh dua pernyataan pejabat ini pada akhirnya membuka kembali pertanyaan lama:
- Sejauh apa pengawasan terhadap pembalakan liar dan manipulasi dokumen tanah?
- Apakah pemerintah tidak belajar dari bencana-bencana sebelumnya untuk lebih peka sebelum berbicara?
- Dan mengapa penetapan status bencana nasional selalu muncul sebagai polemik berulang?
Sementara itu, di tenda pengungsian dan tepi sungai yang berubah menjadi kuburan massal, warga masih menunggu kabar keluarga yang belum ditemukan.
Di antara suara mesin ekskavator dan sirine ambulans, masyarakat berharap satu hal: kehadiran negara yang tidak hanya terlihat, tetapi juga terasa.
(Mond)
#BanjirSumatera #BencanaAlam #Peristiwa