Dosen UNM Jadi Tersangka Pelecehan Seksual Sesama Jenis Kabur, Polisi Terbitkan DPO

Dosen UNM Khaeruddin (Foto: Istimewa)
D'On, MAKASSAR — Penegakan hukum dalam kasus dugaan pelecehan seksual di lingkungan akademik kembali tercoreng. Khaeruddin, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FIS-H) Universitas Negeri Makassar (UNM), yang telah berstatus tersangka dalam perkara dugaan pelecehan seksual sesama jenis terhadap mahasiswanya, kini menghilang. Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan resmi menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah tersangka tidak diketahui keberadaannya menjelang pelimpahan tahap II ke kejaksaan.
Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Sulsel, Kompol Zaki Sungkar, membenarkan bahwa tersangka tidak hadir dan tidak dapat ditemukan saat proses hukum memasuki fase krusial.
“Iya, kabur. Sudah ada DPO-nya,” ujar Zaki singkat, Minggu (21/12/2025).
Pernyataan singkat itu menandai babak baru dari sebuah perkara yang sejak awal dinilai rawan, sensitif, dan penuh kelalaian prosedural.
Penangguhan Penahanan dengan Alasan Sakit Berujung Pelarian
Khaeruddin sebelumnya tidak ditahan karena ancaman pidana pasal yang disangkakan berada di bawah lima tahun. Bahkan, setelah resmi ditetapkan sebagai tersangka, ia masih diberi penangguhan penahanan dengan dalih sakit dan statusnya diubah menjadi tahanan kota.
Keputusan ini belakangan menuai kritik keras.
Menurut Zaki, setelah penangguhan penahanan dikabulkan, tersangka pulang ke kampung halamannya di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Namun ketika penyidik hendak melakukan pelimpahan tahap II ke Kejaksaan Tinggi Sulsel, tersangka tak kunjung hadir.
“Saat mau tahap dua dia tidak datang. Penyidik kemudian menjemput ke Bone, tetapi yang bersangkutan sudah tidak ada,” ungkap Zaki.
Hilangnya tersangka ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa pengawasan terhadap tersangka kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus begitu longgar?
LBH Makassar: Proses Lamban Buka Jalan Pelarian
Tim Pendamping Hukum korban dari LBH Makassar menilai kaburnya tersangka bukan sekadar kelalaian individual, melainkan akibat dari lambannya koordinasi dan rendahnya sense of urgency aparat penegak hukum.
Pendamping hukum korban, Mirayati Amin, mengungkapkan bahwa pihaknya telah aktif mempertanyakan perkembangan perkara sejak 10 Desember 2025 ke Unit PPA Polda Sulsel. Dari penyidik, mereka memperoleh informasi bahwa tersangka telah dua kali dipanggil Jaksa Penuntut Umum, namun tak pernah memenuhi panggilan tersebut.
“Alasannya selalu sama: sakit. Setelah pulang ke Bone, tidak ada lagi kabar. Bahkan keluarga dan penasihat hukumnya mengaku tidak tahu keberadaannya,” kata Mirayati.
LBH Makassar juga telah melayangkan surat desakan percepatan ke Kejaksaan Negeri Makassar. Namun hingga kini, tidak ada balasan resmi. Jaksa disebut berdalih tengah fokus menangani perkara tahanan kasus aksi massa Agustus–September.
Alasan tersebut dinilai tidak dapat diterima.
“Tidak ada perkara yang lebih penting dari yang lain. Semua warga negara punya kedudukan yang sama di hadapan hukum. Penundaan ini justru memberi ruang bagi pelaku untuk melarikan diri,” tegas Mirayati.
Korban Masih Terjebak di Kampus yang Sama dengan Pelaku
Di balik proses hukum yang berlarut, korban harus menanggung beban psikologis yang berat. Tersangka adalah dosen di kampus yang sama, memiliki relasi kuasa, dan sempat menjadi bagian dari proses akademik korban.
Korban mengaku telah meminta perlindungan sejak awal, termasuk agar pelaku tidak lagi menjadi dosen pembimbingnya. Namun, respons kampus dinilai lamban dan minim empati.
“Saya hanya ingin merasa aman saat kuliah. Tapi prosesnya lama dan berbelit. Sepertinya kampus tidak berpihak kepada saya,” ujar korban.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan viktimisasi berulang, sebuah risiko yang seharusnya dicegah secara serius oleh institusi pendidikan.
Kampus Dinilai Pasif, Hanya Berhenti pada Pemberhentian Sementara
Pada 6 Agustus 2025, LBH Makassar secara resmi melaporkan dugaan pelanggaran etik dan disiplin dosen kepada Rektor UNM melalui surat bernomor 64/SK-ADV/LBH-MKS/VIII/2025. Namun balasan dari pihak kampus dinilai normatif dan tidak menjelaskan langkah konkret.
UNM hanya menyatakan bahwa Khaeruddin diberhentikan sementara selama proses hukum berlangsung.
Hingga berita ini diturunkan, Universitas Negeri Makassar belum memberikan pernyataan resmi terkait kaburnya tersangka yang merupakan dosennya sendiri.
Duduk Perkara: Dari Ruang Akademik ke Rumah Pribadi
Kasus ini bermula pada 30 Mei 2024, ketika korban dipanggil oleh dosen berinisial K ke rumah pribadinya di Kabupaten Gowa dengan dalih melanjutkan tugas Ujian Akhir Semester (UAS).
Alih-alih membahas akademik, korban justru diminta memijat, dibawa ke kamar, dipaksa membuka pakaian, dan diraba. Korban berhasil melawan dan melarikan diri.
Polda Sulsel kemudian menetapkan K sebagai tersangka pada 23 Juni 2025 setelah gelar perkara. Ia dijerat Pasal 6 huruf a UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara dan/atau denda Rp50 juta.
Barang bukti yang dikantongi penyidik meliputi pakaian korban dan hasil visum, serta keterangan sedikitnya empat saksi.
Ujian Integritas Penegakan Hukum dan Dunia Akademik
Kaburnya tersangka bukan hanya soal pencarian satu orang, tetapi menjadi cermin rapuhnya perlindungan korban kekerasan seksual, terutama di ruang-ruang yang seharusnya aman seperti kampus.
Kini publik menunggu:
- Seberapa serius polisi memburu tersangka?
- Apakah kejaksaan akan melakukan evaluasi atas lambannya penanganan?
- Dan apakah kampus akan benar-benar berpihak pada korban, bukan sekadar menjaga nama baik institusi?
Sementara itu, korban masih menunggu satu hal paling mendasar: keadilan dan rasa aman.
(L6)
#HubunganSesamaJenis #LGBT #DosenLGBT #PelecehanSeksual #UniversitasNegeriMakassar