Breaking News

Brigadir YAAS Jalani Sidang Etik di Polda Kepri, Korban Ungkap Dugaan Kekerasan Seksual hingga Keguguran

Ilustrasi Polri

D'On, Batam
 — Kasus dugaan penganiayaan dan hubungan di luar pernikahan yang menyeret anggota Polsek Sugulung, Polda Kepulauan Riau (Kepri), berinisial Brigadir YAAS, memasuki babak baru. Kepolisian Daerah Kepri resmi menggelar Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri terhadap terduga pelaku, Kamis (18/2/2025), di ruang sidang Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Kepri.

Sidang etik tersebut dihadiri langsung oleh FM (28), perempuan yang menjadi korban sekaligus saksi pelapor dalam perkara ini. Kehadiran FM menandai keseriusan korban untuk memperjuangkan keadilan atas dugaan kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang disebut dialaminya selama menjalin hubungan dengan Brigadir YAAS.

Kabid Propam Polda Kepri, Kombes Pol Eddwi Kurniyanto, membenarkan bahwa sidang etik telah resmi digelar dan dipimpin oleh perwira menengah dari jajaran Polda Kepri.

“Kamis pagi ini sidang etiknya dilaksanakan. Komisi Kode Etik sudah dibentuk dan dipimpin oleh perwira menengah dari Polda Kepri,” ujar Eddwi, dikutip dari Antara.

Diduga Terbukti Langgar Etik, Sempat Jalani Patsus

Eddwi menjelaskan, berdasarkan hasil pemeriksaan internal oleh Paminal Propam Polda Kepri, Brigadir YAAS diduga kuat melanggar kode etik profesi Polri. Atas dugaan pelanggaran tersebut, yang bersangkutan bahkan sempat menjalani penempatan khusus (patsus) usai laporan korban dilayangkan.

Undangan pemberitahuan sidang KKEP, lanjut Eddwi, telah disampaikan secara resmi kepada korban FM melalui tim penasihat hukumnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk transparansi dan pemenuhan hak korban dalam proses etik internal kepolisian.

Namun demikian, Eddwi menegaskan bahwa proses etik bukan satu-satunya jalur hukum yang ditempuh. Brigadir YAAS juga dilaporkan secara pidana, dan perkara tersebut saat ini masih dalam tahap penyelidikan di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kepri.

Kuasa Hukum Korban: Proses Etik Harus Berujung Kepastian Hukum

Penasihat hukum FM, Ferry Hulu, mengapresiasi langkah tegas Polda Kepri yang tetap melanjutkan proses etik terhadap anggotanya. Menurutnya, penegakan kode etik menjadi bagian penting dalam memulihkan rasa keadilan korban, terutama ketika terduga pelaku merupakan aparat penegak hukum.

“Kami sudah menerima surat pemberitahuan pelaksanaan sidang etik Brigadir YAAS. Harapan kami, proses kode etik ini berjalan dengan baik dan klien kami mendapat kepastian hukum,” ujar Ferry.

Ia menambahkan, kliennya mengalami tekanan mental yang berat sebagai perempuan akibat tindakan yang diduga dilakukan oleh terlapor.

“Secara psikologis, klien kami sangat tertekan. Negara harus hadir memberikan perlindungan, bukan justru membiarkan korban berjuang sendiri,” tegasnya.

Pengakuan Korban: Dijanjikan Nikah, Berujung Kekerasan dan Keguguran

Dalam keterangannya, FM mengaku telah mempersiapkan mental untuk bertemu langsung dengan Brigadir YAAS di ruang sidang etik. Ia menegaskan, sejak kasus ini mencuat ke publik, hubungan dirinya dengan terlapor telah berakhir.

FM membeberkan bahwa hubungan tersebut bermula dari janji pernikahan. Ia mengaku diyakinkan secara serius oleh Brigadir YAAS, bahkan hingga kedua orang tua pihak perempuan telah bertemu dan menyepakati rencana pernikahan.

Karena keyakinan itu, FM mengorbankan pekerjaannya sebagai tenaga kesehatan demi mengikuti Brigadir YAAS dan mempersiapkan pernikahan secara kedinasan.

Namun, harapan itu berubah menjadi mimpi buruk. Selama menjalin hubungan, FM mengaku mengalami kekerasan seksual hingga hamil. Tragisnya, pada Juli 2025, ia mengalami keguguran untuk kedua kalinya.

Lebih memilukan lagi, FM mengungkap bahwa selama masa kehamilan, ia justru mengalami kekerasan fisik dan psikis.

“Saya ditendang, kuku saya dicabut sampai berdarah, dipiting, didorong berkali-kali sampai jatuh ke lantai,” ungkap FM dengan suara bergetar.

Minta Proses Transparan, Tolak Intervensi Internal

FM berharap kasus yang menimpanya diproses secara transparan dan tanpa intervensi, baik dari internal kepolisian maupun pihak mana pun. Ia mengaku keberaniannya melapor didorong oleh fakta bahwa dirinya bukan korban pertama.

“Setelah saya melaporkan tiga laporan ke Polda Kepri, dikonfirmasi bahwa pelaku pernah dilaporkan dengan kasus yang sama oleh perempuan lain,” ujarnya.

Perempuan berdarah Batak itu menegaskan, langkah hukumnya bukan untuk menjatuhkan institusi Polri, melainkan demi keadilan dan perlindungan terhadap korban.

“Ini jadi pengingat bahwa tidak ada aparat yang kebal hukum. Saya mau keadilan. Saya tidak bisa menerima intervensi dari mana pun,” tegas FM.

“Saya berbicara bukan untuk menjatuhkan institusi, tapi untuk mencari keadilan. Saya mau negara hadir dan melindungi korban, terlebih ketika pelakunya adalah aparat yang seharusnya melindungi masyarakat,” pungkasnya.

(L6)

#KekerasanSeksual #Penganiayaan #PoldaKepri