Bertahan di Tengah Puing: Kisah Nelayan Parupuak Tabiang Menjual Sisa Bencana Demi Hidup Pascabanjir Bandang

Seorang Nelayan Padang Berjalan Diatas Kayu Gelondongan
D'On, Padang — Di pesisir Kelurahan Parupuak Tabiang, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, deru ombak sempat kalah oleh sunyi. Selama hampir satu bulan pascabanjir bandang, laut yang biasa menjadi tumpuan hidup para nelayan tak lagi bisa mereka sentuh. Bukan karena cuaca buruk, melainkan karena pantai berubah menjadi hamparan kayu gelondongan, batang pohon, dan sampah besar yang terbawa derasnya banjir dari hulu sungai.
Banjir bandang yang menerjang wilayah tersebut pada 27 November 2025 tak hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga memutus urat nadi kehidupan nelayan. Perahu-perahu terjebak di darat. Jalur keluar masuk ke laut tertutup rapat oleh tumpukan material kayu. Aktivitas melaut pun lumpuh total.
Di tengah keterdesakan, warga nelayan Parupuak Tabiang mencari cara bertahan hidup. Kayu-kayu sisa bencana yang menumpuk di sepanjang pantai menjadi satu-satunya harapan. Mereka mengumpulkan, memotong, dan menjualnya sebagai kayu bakar.
“Sudah hampir satu bulan ini kami tidak bisa melaut. Pantai penuh kayu, perahu tidak bisa keluar,” ujar Firdaus, seorang nelayan setempat, mengenang hari-hari berat pascabencana.
Firdaus bersama nelayan lainnya menghabiskan hari-hari mereka bukan di tengah laut, melainkan di bawah terik matahari, mengangkut kayu demi kayu. Bukan pilihan ideal, namun itulah satu-satunya cara agar dapur tetap mengepul.
“Kalau satu mobil truk penuh, biasanya laku sekitar Rp 500.000. Itu yang kami gunakan untuk makan sehari-hari, bayar kebutuhan rumah. Karena tidak ada penghasilan lain,” tuturnya.
Pendapatan itu jelas tak sebanding dengan hasil melaut di hari normal. Namun bagi para nelayan, menjual sisa bencana lebih baik daripada tidak memiliki apa-apa sama sekali.
Harapan baru mulai tumbuh pada Sabtu, 20 Desember 2025. Ratusan personel dari berbagai instansi dan unsur masyarakat turun ke pantai dalam aksi gotong royong massal membersihkan pesisir. Kayu gelondongan, batang pohon besar, dan sampah berat disingkirkan sedikit demi sedikit.
Aksi kemanusiaan ini melibatkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Polri, Polisi Kehutanan, PT Semen Padang, serta warga setempat. Mereka bahu-membahu, menyatu dalam satu tujuan: mengembalikan laut kepada nelayan.
Perlahan, wajah pantai Parupuak Tabiang berubah. Akses perahu mulai terbuka. Pasir yang sempat tertutup puing kembali terlihat. Pada hari itu pula, untuk pertama kalinya setelah hampir satu bulan, para nelayan kembali mendorong perahu ke laut.
Bagi mereka, momen itu bukan sekadar kembali bekerja, melainkan simbol bangkit dari keterpurukan.
“Alhamdulillah, sekarang pantai sudah mulai bersih. Kami sudah bisa melaut lagi,” kata Firdaus dengan nada lega.
Meski demikian, para nelayan sadar bahwa menjual kayu sisa banjir bukanlah solusi jangka panjang. Mereka berharap penanganan pascabencana tidak berhenti pada pembersihan pantai semata. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di wilayah hulu menjadi harapan besar agar banjir bandang serupa tak kembali merampas mata pencaharian mereka.
“Kalau hulunya tidak ditangani, kami di hilir yang selalu jadi korban,” ungkap salah seorang warga pesisir.
Kini, laut kembali menjadi tumpuan hidup. Jaring kembali ditebar, perahu kembali berlayar. Namun jejak trauma masih tersisa. Di balik ombak yang tampak tenang, tersimpan pelajaran pahit tentang rapuhnya kehidupan nelayan ketika alam murka.
Bagi warga Parupuak Tabiang, banjir bandang bukan sekadar bencana alam, melainkan ujian tentang daya tahan, solidaritas, dan harapan untuk kembali hidup dari laut yang mereka cintai.
(B1)
#BanjirPadang #Padang #Nelayan