Breaking News

Komisi IV DPR Dorong Relokasi Besar-Besaran Pascabencana: “Warga Tidak Bisa Terus Hidup di Ujung Jurang Bahaya”

Petugas dari Kantor SAR Padang melintasi lintasan tali yang membentang sepanjang 50 meter untuk mengevakuasi dua korban yang hanyut terbawa banjir bandang di aliran Sungai Silaing Bawah, Kabupaten Padang Panjang, Sumatera Barat. (Antara/Basarnas)

D'On, Padang
- Deru sungai yang biasanya menjadi latar kehidupan masyarakat Sumatera Barat berubah menjadi lonceng peringatan pada 26 November 2025. Hujan ekstrem menggulung hulu, memecah sunyi malam, lalu menurunkan banjir bandang yang menabrak pemukiman di 16 kabupaten dan kota. Ketika air surut, ia meninggalkan jejak luka: puluhan nyawa hilang, rumah-rumah runtuh seperti kartu yang tak diberi kesempatan berdiri kembali, dan ribuan orang kini menggantungkan hidup pada tenda-tenda darurat.

Di tengah lanskap yang retak itulah Ketua Komisi IV DPR, Siti Herdiyati Rukmana (Titiek Soeharto), menginjakkan kaki. Bukan sekadar meninjau, tetapi menyampaikan rekomendasi yang terdengar seperti keputusan pahit namun tak terhindarkan: relokasi permanen bagi warga yang tinggal di bantaran sungai seluruh Sumatera Barat.

“Ini bukan sekadar respons darurat. Ini tentang masa depan,” katanya. Suaranya terdengar tegas di antara suara helikopter logistik yang sesekali membelah udara. “Permukiman di tepi sungai adalah zona bahaya. Tiap musim hujan bisa berubah menjadi ancaman hidup. Relokasi adalah perlindungan jangka panjang.”

Potret Kerusakan: Desa-Desa yang Seperti Digerus Waktu

Laporan awal BNPB memperlihatkan kerusakan luas: jembatan patah, akses jalan terputus, jaringan listrik remuk, sekolah dan puskesmas dihantam lumpur setinggi pinggang orang dewasa. Banyak keluarga tidak hanya kehilangan rumah—tetapi juga sawah, kios, ternak, dan ritme hidup yang mereka bangun selama puluhan tahun.

Di beberapa lokasi, warga bahkan mengakui bahwa jalur banjir berada tepat di balik dinding kamar mereka. “Hanya hitungan detik,” ujar seorang penyintas yang kehilangan rumah sekaligus dua anggota keluarga. “Kami tak sempat menyelamatkan apa pun.”

Gambaran inilah yang, menurut Komisi IV, membuat relokasi bukan sekadar wacana, melainkan keharusan yang tak bisa ditunda.

Peran Kemensos dan Ketegangan Birokrasi

Siti menegaskan Kementerian Sosial memikul tugas berat: mendata penyintas, menyalurkan bantuan, dan merancang hunian baru. Ia menekankan satu hal yang seolah memecah kesunyian rapat koordinasi: “Birokrasi tidak boleh menjadi banjir kedua.”

Pendataan, kata Siti, harus berjalan dalam kecepatan keadaan darurat. Semakin lama pembangunan hunian dilakukan, semakin tipis harapan warga keluar dari lingkaran pengungsian dan ketidakpastian.

Lahan Baru, Harapan Baru—Atau Sekadar Pemindahan Masalah?

Proses relokasi, seperti yang diingatkan Siti, tidak boleh berhenti pada pemindahan fisik. Ia menuntut pemerintah daerah mengidentifikasi lahan yang aman secara geologi, bukan lahan kosong yang sekadar tersedia. Hunian baru itu harus menjadi kawasan yang hidup, lengkap dengan:

  • akses jalan yang tak mudah putus,
  • sanitasi yang layak,
  • sekolah yang dapat menampung anak-anak penyintas,
  • fasilitas kesehatan yang siap menghadapi kondisi krisis.

“Jangan memindahkan warga dari bahaya ke kesunyian,” ujarnya. “Mereka harus kembali hidup dengan layak dan aman.”

Koordinasi Lintas Lembaga: Mesin Besar yang Harus Bergerak Serempak

Komisi IV menjanjikan pengawasan ketat. Relokasi dalam skala besar adalah proyek jangka panjang bukan hanya pembangunan rumah, tetapi pembangunan ulang ritme sosial seluruh komunitas.

Siti menyebut bahwa tanpa koordinasi kuat antar-kementerian, proses pemulihan dapat berubah menjadi peta jalan tanpa arah. Ia mendorong pemerintah pusat dan daerah memperlakukan bencana ini sebagai titik balik: awal dari penataan ruang yang lebih berani dan berbasis mitigasi risiko.

Di Tengah Puing, Ada Pertanyaan yang Belum Terjawab

Relokasi adalah obat pahit: menyelamatkan nyawa, tetapi memindahkan akar warga dari tanah tempat mereka tumbuh. Pemerintah dan DPR kini berdiri di antara urgensi dan sensitivitas itu.

Namun satu hal jelas: ketika banjir bandang telah menunjukkan kekuatannya, pertanyaan paling mendesak bukan lagi “Apakah kita harus relokasi?” tetapi “Berapa lama lagi kita berani tinggal di tepi ancaman?”

(B1)

#BanjirPadang #DPR #Padang