Kantor Gubernur Riau Digeledah KPK: Jejak Uang 7 Miliar dan Skandal di Balik Kursi Kekuasaan

KPK usai menggeledah kantor Gubernur Riau.
D'On, Pekanbaru — Suasana Kantor Gubernur Riau di Jalan Sudirman mendadak tegang pada Senin (10/11) siang. Sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) datang tanpa banyak bicara, menyusuri satu per satu ruangan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Di tangan mereka, surat perintah penggeledahan dan daftar target pencarian: dokumen anggaran, alat komunikasi, serta bukti elektronik yang diyakini berkaitan dengan dugaan pemerasan oleh Gubernur Riau, Abdul Wahid.
Langkah tegas ini menjadi babak baru dari kasus korupsi yang mengguncang jantung pemerintahan Provinsi Riau, hanya berselang beberapa pekan setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang menyeret langsung sang gubernur bersama dua orang kepercayaannya Kepala Dinas PUPR Riau, M. Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur, Dani M. Nursalam.
Jejak Uang Fee 5 Persen dan Lobi Anggaran
Dari hasil penyidikan awal, KPK menemukan pola permainan yang sistematis. Abdul Wahid dan dua orang dekatnya diduga meminta “fee” sebesar 5 persen dari para kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Dinas PUPR, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.
Fee itu bukan angka kecil 5 persen dari tambahan anggaran senilai Rp 106 miliar, yang membuat total dana Dinas PUPR melonjak dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar untuk tahun anggaran 2025.
Perhitungan sederhana saja menunjukkan nilai “jatah” tersebut mencapai Rp 7 miliar, dan menurut temuan penyidik, Rp 4,05 miliar di antaranya sudah benar-benar berpindah tangan dalam tiga kali transaksi berbeda.
Transaksi terakhir, yang berlangsung pada November 2025, menjadi titik kejatuhan. KPK yang telah mengantongi bukti kuat, langsung bergerak dan melakukan OTT.
Kantor Gubernur Jadi Target: Dokumen, Laptop, dan Jejak Digital
Dalam penggeledahan Senin lalu, penyidik KPK menyita berbagai dokumen anggaran dan barang bukti elektronik (BBE) dari ruang-ruang strategis di kantor gubernur.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi penyitaan tersebut.
“Penyidik mengamankan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik, di antaranya dokumen anggaran Pemprov Riau,” ujar Budi kepada wartawan, Selasa (11/11).
“Penyitaan barang bukti dan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat penting sangat krusial untuk membuat terang perkara ini.”
Tak berhenti di situ, penyidik juga memeriksa Kepala Bagian Protokol Pemprov Riau, Raja Faisal Febnaldi, serta Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau, Syahrial Abdi. Kedua pejabat itu diperiksa secara maraton sejak siang hingga malam hari.
KPK menegaskan, langkah-langkah ini bagian dari penelusuran aliran dana dan komunikasi internal yang diduga menjadi jalur koordinasi antara Gubernur dan para pejabat bawahannya.
“Kami mengimbau agar semua pihak bersikap kooperatif dan tidak menghambat penyidikan. Dukungan masyarakat Riau sangat penting untuk efektivitas penegakan hukum ini,” tegas Budi.
Respons Pemprov: “Bukan Penggeledahan, Cuma Minta Data”
Sementara itu, pihak Pemerintah Provinsi Riau mencoba meredam gejolak.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, SF Hariyanto, yang kini menggantikan Abdul Wahid setelah ditetapkan sebagai tersangka, menepis anggapan bahwa tim KPK melakukan penggeledahan.
Menurutnya, kedatangan penyidik hanya sebatas meminta data.
“Enggak ada penggeledahan. KPK datang cuma meminta data. Kita sebagai tuan rumah tentu membantu proses penyidikan,” kata Hariyanto kepada wartawan.
“Enggak ada ruangan yang diperiksa, cuma ngobrol-ngobrol aja. Dokumen yang dibawa pun saya belum tahu, nanti Sekda yang tanda tangan kalau memang ada berkas yang diambil.”
Namun, pernyataan ini berbanding terbalik dengan temuan di lapangan. Beberapa pegawai Pemprov mengaku sempat diminta menyiapkan berkas anggaran dan memberikan akses ke sejumlah komputer dan server internal. Sumber internal menyebut, penyidik KPK bekerja hingga malam hari dan membawa beberapa koper berisi dokumen.
Kronologi Skandal: Dari Uang Fee ke Penjara
Kasus ini bermula dari informasi adanya pungutan “fee proyek” di lingkungan Dinas PUPR Riau. Dalam setiap penambahan anggaran, kepala UPT diwajibkan menyetor sebagian dana kepada pihak tertentu di lingkaran gubernur.
Praktik itu sudah berlangsung sejak awal 2025 dan berjalan mulus hingga akhirnya terendus oleh tim KPK.
Operasi tangkap tangan yang dilakukan di Pekanbaru beberapa minggu lalu menjadi puncaknya. Dari hasil OTT, KPK menemukan uang tunai dalam jumlah besar serta catatan pembagian fee yang diduga ditulis langsung oleh salah satu orang dekat Abdul Wahid.
Kini, Abdul Wahid, M. Arief Setiawan, dan Dani M. Nursalam telah resmi ditahan di Rutan KPK Jakarta. Ketiganya masih bungkam dan belum memberikan pernyataan publik terkait kasus yang menjerat mereka.
Aroma Lama, Wajah Baru: Riau dan Luka Lama Korupsi
Kasus ini kembali membuka luka lama bagi masyarakat Riau. Provinsi ini bukan pertama kali pemimpinnya terjerat kasus korupsi.
Sebelumnya, dua gubernur Riau terdahulu Rusli Zainal dan Annas Maamun juga pernah mendekam di balik jeruji besi karena kasus serupa.
Kini, nama Abdul Wahid menambah daftar panjang kepala daerah Riau yang tumbang akibat korupsi.
Bagi warga, berita ini bukan lagi sekadar kabar hukum, tapi juga simbol betapa korupsi telah berakar di ruang-ruang kekuasaan daerah yang seharusnya menjadi pusat pelayanan publik.
Babak Baru Pemberantasan Korupsi di Riau
KPK memastikan penyidikan akan terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan ada tersangka baru jika ditemukan bukti keterlibatan pejabat lain.
Sementara masyarakat Riau kini menunggu:
Apakah kasus ini akan benar-benar tuntas atau kembali menjadi drama hukum yang berhenti di tengah jalan?
(K)
#AbdulWahid #Korupsi #KPK #Hukum