Breaking News

Tunjangan Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR Digugat ke MK: “Ketimpangan yang Melukai Rasa Keadilan”

Gedung MK Tampak depan

D'On, Jakarta —
Tunjangan pensiun seumur hidup bagi anggota DPR RI kini menjadi sorotan tajam publik. Sekelompok akademisi dan mahasiswa hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menggugat ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena dinilai melanggar semangat keadilan sosial dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Gugatan ini bukan sekadar kritik moral. Ia adalah tantangan hukum terhadap sistem kesejahteraan pejabat negara yang dianggap tidak proporsional dengan kondisi rakyat kebanyakan.

Ketimpangan yang Disorot Akademisi UII

Permohonan uji materi yang teregistrasi sebagai Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh dua dosen Fakultas Hukum UII, Ahmad Sadzali dan Anang Zubaidy, bersama lima mahasiswa: M. Farhan Kamase, Alvin Daun, Zidan Patra Yudistira, Rayhan Madani, dan M. Fajar Rizki.

Mereka menilai pemberian tunjangan pensiun seumur hidup bagi anggota DPR adalah bentuk kebijakan yang tidak adil dan tidak proporsional. Pasalnya, dana pensiun tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) uang rakyat  yang semestinya diprioritaskan untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.

“Pemberian dana pensiun secara tidak proporsional mencederai hak konstitusional para pemohon dan melanggar prinsip keadilan sosial,” tegas M. Farhan Kamase dalam sidang di Gedung MK, Selasa (28/10/2025), dikutip dari Antara.

Dugaan Ketimpangan dan Beban APBN

Dalam permohonannya, para akademisi ini menyoal sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
Pasal-pasal yang mereka uji antara lain Pasal 12, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) huruf a, dan Pasal 19 ayat (1) dan (2).

Menurut para pemohon, aturan-aturan itu membuat alokasi APBN menjadi timpang dan tidak efisien, karena mengutamakan kesejahteraan segelintir elit politik dibanding kebutuhan rakyat luas.

“APBN seharusnya didistribusikan secara proporsional dan memprioritaskan sektor produktif yang berdampak langsung pada masyarakat,” ujar Alvin Daun.
“Mengalokasikan dana besar untuk pensiun seumur hidup anggota lembaga tinggi negara jelas tidak sejalan dengan prinsip utilitarianisme  tidak membawa manfaat bagi banyak orang.”

Para pemohon menambahkan, gaji dan tunjangan anggota DPR selama menjabat sudah sangat tinggi. Rata-rata, total penghasilan mereka disebut mencapai sekitar 42 kali lipat Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta. Dengan pendapatan sebesar itu, pemberian pensiun seumur hidup dianggap sebagai privilege berlebihan yang memperlebar jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Kelemahan Logika dalam Aturan Pensiun

Salah satu sorotan utama pemohon adalah adanya kontradiksi dalam pasal-pasal mengenai durasi pembayaran pensiun.

Pasal 16 ayat (1) huruf a UU 12/1980 menyatakan pembayaran pensiun dihentikan ketika penerima meninggal dunia, namun Pasal 17 ayat (1) menyebutkan pensiun tersebut dapat diteruskan kepada janda atau duda yang sah.

Ketidakkonsistenan ini, menurut pemohon, menimbulkan ketidakpastian hukum yang berpotensi menyalahi prinsip kejelasan norma dalam konstitusi.

Belajar dari Negara Lain

Para pemohon juga menyoroti bagaimana negara lain mengelola dana pensiun pejabat publik.
Di Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, sistem pensiun pejabat dibangun melalui potongan gaji pokok selama masa jabatan, bukan ditanggung penuh oleh negara.

Model semacam itu dinilai lebih adil, transparan, dan tidak membebani keuangan negara secara berlebihan.

“Indonesia seharusnya belajar dari negara-negara tersebut. Dana pensiun bagi pejabat negara tidak boleh menjadi beban abadi bagi APBN,” kata dosen UII, Anang Zubaidy.

Permohonan di Hadapan MK

Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk:

  1. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU No.12/1980 inkonstitusional bersyarat, sejauh mencakup pejabat hasil pemilihan umum seperti anggota DPR.
  2. Menyatakan pasal-pasal lainnya inkonstitusional bersyarat, terutama sepanjang frasa “meninggal dunia” dimaknai sebagai “seumur hidup”.

Namun, Majelis Hakim MK menilai petitum itu masih perlu diperjelas. Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengingatkan agar argumentasi para pemohon tidak saling bertentangan.

“Satu sisi Anda menolak pensiun seumur hidup, tapi di sisi lain di petitum Saudara, Anda menafsirkan ‘meninggal dunia’ sebagai ‘seumur hidup’. Hati-hati, ini bisa menjadi permohonan yang kabur,” ujar Guntur mengingatkan.

MK memberikan waktu 14 hari bagi para pemohon untuk memperbaiki berkas permohonan mereka. Batas akhir pengajuan revisi ditetapkan pada 10 November 2025.

Bukan Gugatan Pertama

Kasus ini bukan kali pertama tunjangan pensiun DPR digugat ke MK. Sebelumnya, psikolog Lita Linggayani Gading dan advokat muda Syamsul Jahidin juga mengajukan uji materi serupa, terdaftar sebagai Perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025.

Mereka menggugat karena aturan dalam UU 12/1980 memungkinkan anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun mendapatkan pensiun seumur hidup, bahkan dapat diteruskan kepada pasangan yang ditinggalkan.

“Ini ketimpangan nyata. Seorang anggota DPR yang duduk lima tahun bisa menikmati tunjangan selamanya, sementara jutaan pekerja harus berjuang puluhan tahun tanpa jaminan hari tua yang layak,” kata Syamsul kala itu.

Simbol Ketimpangan di Negeri Demokrasi

Gugatan ini mencerminkan kekecewaan publik yang semakin dalam terhadap pola kesejahteraan pejabat negara.
Ketika sebagian besar rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, anggota dewan justru menikmati fasilitas seumur hidup yang ditopang uang pajak masyarakat.

Bagi banyak kalangan, isu ini bukan sekadar soal hukum, tetapi juga soal moral dan etika kekuasaan  bagaimana pejabat publik menempatkan diri di tengah rakyat yang diwakilinya.

Apakah Mahkamah Konstitusi akan berpihak pada semangat keadilan sosial, atau tetap mempertahankan status quo yang menguntungkan elite politik?
Jawaban atas pertanyaan itu kini berada di tangan sembilan hakim konstitusi  dan di mata publik yang menunggu dengan harap sekaligus cemas.

(Mond)

#MahkamahKonstitusi #Hukum #Nasional #UangPensiunDPR