Tampar Siswa yang Kepergok Merokok, Kepsek SMAN 1 Cimarga Dinonaktifkan
Gubernur Banten Andra Soni. Foto: Dok. Istimewa
D'On, Lebak, Banten — Suasana di SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, mendadak mencekam. Suara langkah kaki siswa yang biasanya ramai bergema di halaman sekolah, kini berganti menjadi hening penuh kecanggungan. Sejak Senin (13/10), ratusan siswa kompak mogok belajar. Aksi mereka adalah bentuk protes terhadap kepala sekolah, Dini Fitria, yang dituding menampar dan menendang seorang siswa kelas XII karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah.
Kasus yang bermula dari sebuah teguran sederhana itu kini menjalar menjadi isu serius di dunia pendidikan Banten. Gubernur Banten Andra Soni bahkan turun tangan langsung. Ia menegaskan, kepala sekolah SMAN 1 Cimarga resmi dinonaktifkan sambil menunggu hasil pemeriksaan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
“Itu sedang kita proses untuk dinonaktifkan,” ujar Gubernur Andra Soni, Selasa (14/10).
“Lebih jelasnya nanti bisa dikonfirmasi ke Pak Sekda atau Dinas Pendidikan,” tambahnya singkat.
Keputusan tersebut menjadi langkah cepat pemerintah provinsi untuk meredam gejolak di sekolah yang sebelumnya dikenal berprestasi itu.
Langkah Tegas Pemerintah: Penonaktifan untuk Sementara
Penonaktifan Kepala Sekolah Dini Fitria dikonfirmasi langsung oleh Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, Lukman. Ia menyebut, Dini tengah menjalani pemeriksaan mendalam di BKD.
“Kepsek sudah dinonaktifkan sampai proses pemeriksaan oleh BKD selesai,” kata Lukman saat dikonfirmasi.
Menurutnya, keputusan tersebut masih bersifat sementara, namun langkah ini menjadi bentuk ketegasan terhadap tenaga pendidik agar berhati-hati dalam mengambil tindakan disiplin di sekolah.
“Kita lihat sisi positifnya, jadi pembelajaran bagi kita semua. Mendidik anak zaman sekarang dengan zaman dulu sudah sangat berbeda perlakuannya,” ujar Lukman.
Lukman menambahkan, pemeriksaan terhadap Dini telah dimulai sejak Senin (13/10) oleh Kantor Cabang Dinas (KCD) Kabupaten Lebak. Hasil pemeriksaan akan diteruskan ke BKD untuk menentukan sanksi akhir.
Duduk Perkara: Rokok, Emosi, dan Kata-Kata Kasar
Kasus ini bermula pada Jumat (10/10), saat kegiatan Jumat Bersih di sekolah. Indra Lutfiana Putra (17), siswa kelas XII, kedapatan merokok di area warung dekat sekolah. Di sanalah peristiwa itu terjadi.
Indra mengaku awalnya sedang duduk santai di warung ketika tiba-tiba kepala sekolah menghampirinya. Ia kaget dan langsung mematikan rokoknya, berharap tidak terjadi apa-apa. Namun situasi berbalik tegang ketika Dini meminta Indra mencari puntung rokok yang dibuangnya.
“Saya disuruh nyari puntung rokok, tapi enggak ketemu. Terus bu Kepsek bilang saya bohong,” ungkap Indra dengan nada pelan saat ditemui, Senin (13/10).
Dari situlah emosi meledak. Menurut Indra, kepala sekolah mendadak menendang punggungnya dan menampar pipinya, sambil mengeluarkan kata-kata kasar.
“Beliau marah, nendang saya di punggung, terus nampol saya di pipi kanan. Kepsek juga bilang goblok, anjing, terus nyuruh saya nyari lagi rokoknya,” tutur Indra.
Indra kemudian digiring ke ruang guru. Di sana, amarah sang kepala sekolah belum juga mereda. Ia terus dimarahi di depan sejumlah guru lain, hingga suasana menjadi panas dan mencekam.
Kejadian itu sontak menyebar di kalangan siswa, memicu kemarahan kolektif. Mereka menilai tindakan kekerasan tak seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik, apalagi di depan umum. Maka pada Senin berikutnya, seluruh siswa kompak mogok belajar, menolak masuk kelas hingga ada kejelasan dari pihak sekolah dan pemerintah.
Versi Kepala Sekolah: “Saya Tidak Bermaksud Menyakiti”
Di sisi lain, Dini Fitria tidak menampik bahwa ia menampar siswanya. Namun, ia menegaskan tindakan itu dilakukan secara spontan dan tidak keras, semata karena kecewa terhadap kebohongan Indra.
“Saya kecewa bukan karena dia merokok, tapi karena tidak jujur. Saya spontan menegur dengan keras, bahkan sempat memukul pelan karena menahan emosi. Tapi saya tegaskan tidak ada pemukulan keras,” ujarnya.
Menurut Dini, yang terjadi di lapangan jauh dari tuduhan yang berkembang. Ia menyebut hanya menepuk punggung siswa, bukan menendang. Tindakannya, kata dia, muncul spontan ketika melihat Indra mencoba lari setelah dipanggil dari jarak sekitar 20–30 meter.
“Saya lihat ada asap rokok di tangannya. Saya panggil, tapi anak itu malah lari. Saya hanya tepuk punggungnya, tidak ada niat menyakiti,” jelas Dini.
Ia juga menyesalkan jika tindakannya dianggap bentuk kekerasan. Dini mengaku akan mengevaluasi cara berkomunikasinya dan berjanji memperbaiki hubungan antara guru, siswa, dan orang tua di sekolahnya.
“Kami di sekolah berupaya membentuk karakter anak, bukan merusak. Kalau ada kekeliruan dalam cara saya menegur, tentu akan saya evaluasi,” tuturnya dengan nada menyesal.
Gelombang Reaksi dan Refleksi Dunia Pendidikan
Kasus SMAN 1 Cimarga kini menjadi cermin kompleksitas dunia pendidikan modern di mana batas antara disiplin dan kekerasan kerap menipis.
Di satu sisi, guru dituntut tegas menegakkan aturan. Namun di sisi lain, mereka juga harus menyesuaikan cara mendidik dengan karakter generasi zaman sekarang yang lebih sensitif terhadap kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Langkah Gubernur Banten menonaktifkan kepala sekolah ini mendapat beragam respons. Sebagian masyarakat menilai keputusan itu tepat sebagai peringatan keras bagi tenaga pendidik agar lebih profesional. Namun tak sedikit pula yang merasa kepala sekolah terlalu cepat dihakimi, tanpa mempertimbangkan situasi emosional dan niat pendidik yang sebenarnya.
Apa pun pandangannya, satu hal pasti: peristiwa ini telah mengguncang dinamika pendidikan di Banten, membuka diskusi panjang tentang batas antara mendidik dan melanggar etika.
Kasus di SMAN 1 Cimarga bukan sekadar insiden tamparan. Ia adalah potret benturan dua generasi antara guru yang dibesarkan dengan kedisiplinan keras, dan siswa masa kini yang hidup di era keterbukaan dan hak individu.
Apakah tindakan disiplin fisik masih relevan dalam pendidikan modern?
Atau justru kehilangan maknanya di tengah tuntutan etika dan psikologis yang lebih halus?
Waktu dan hasil pemeriksaan BKD akan menjawab. Namun yang pasti, sekolah bukan lagi sekadar tempat menuntut ilmu, melainkan arena pembentukan karakter yang menuntut kebijaksanaan dalam setiap tindakan.
(K)
#Peristiwa #Viral #SMA1Cimarga