Pria 49 Tahun di Pesisir Selatan Ditangkap Usai Diduga Setubuhi Wanita Penyandang Disabilitas
Ilustrasi
D'On, Pesisir Selatan – Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Pesisir Selatan berhasil membekuk seorang pria berinisial S (49), buruh harian lepas, yang diduga kuat melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap seorang wanita penyandang disabilitas. Peristiwa memilukan ini menambah deretan kasus kekerasan seksual terhadap kelompok rentan yang kerap terjadi di tengah masyarakat.
Kronologi Kejadian
Kasus ini bermula pada Selasa, 29 Juli 2025, ketika korban seorang wanita difabel berada di sebuah rumah di Balik Gunung, Kenagarian Punggasan Timur, Kecamatan Linggo Sari Baganti. Berdasarkan hasil penyelidikan, S diduga memanfaatkan kerentanan fisik dan psikis korban untuk melampiaskan nafsu bejatnya.
“Bukti permulaan yang kami dapatkan cukup kuat untuk menetapkan S sebagai tersangka,” ujar seorang penyidik Satreskrim Polres Pesisir Selatan.
Tak lama setelah laporan resmi masuk pada 2 Agustus 2025, polisi langsung membentuk tim untuk melakukan pengejaran. Hingga akhirnya, pada Kamis, 14 Agustus 2025, pukul 11.00 WIB, S ditangkap tanpa perlawanan di Kantor Camat Indrapura, Kecamatan Pancung Soal.
Proses Penangkapan
Tim Tekab Darat Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Pesisir Selatan bergerak cepat. Setelah memastikan keberadaan tersangka, petugas langsung mengamankan S dan membawanya ke Mapolres Pesisir Selatan untuk diperiksa secara intensif.
Langkah cepat aparat ini menjadi bukti bahwa polisi tidak tinggal diam dalam menghadapi kasus kekerasan seksual, apalagi yang menimpa penyandang disabilitas.
Jeratan Hukum yang Berat
Atas perbuatannya, S dijerat dengan Pasal 6 huruf c Jo Pasal 15 huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta Pasal 286 KUHP yang menegaskan larangan persetubuhan dengan perempuan penyandang disabilitas.
Jika terbukti bersalah, S terancam hukuman penjara panjang. Undang-undang ini memang dirancang untuk memberikan efek jera sekaligus melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan dari predator seksual.
Luka yang Tak Terlihat
Kasus ini bukan sekadar perkara hukum, tetapi juga menyisakan luka psikologis mendalam bagi korban. Bagi seorang penyandang disabilitas, kekerasan seksual bukan hanya soal tubuh yang dinodai, melainkan juga martabat dan rasa aman yang dirampas.
Psikolog forensik menyebut, korban kekerasan seksual dari kelompok disabilitas sering kali mengalami trauma ganda—trauma akibat kekerasan dan trauma karena merasa tidak berdaya. Mereka lebih rentan bungkam, terisolasi, bahkan sulit mendapat dukungan sosial.
Komitmen Polisi dan Peringatan bagi Masyarakat
Kepolisian menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini hingga ke meja hijau. “Kami tidak akan memberi ruang bagi pelaku kejahatan seksual, terlebih terhadap penyandang disabilitas. Proses hukum akan berjalan sampai tuntas,” tegas Kapolres Pesisir Selatan.
Kasus ini juga menjadi peringatan keras bagi masyarakat, agar lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Perlindungan terhadap kelompok rentan bukan hanya tugas aparat, tetapi juga tanggung jawab sosial bersama.
Polres Pesisir Selatan pun mengimbau masyarakat untuk tidak ragu melapor apabila menemukan tindakan serupa. Semakin cepat laporan masuk, semakin besar peluang korban mendapatkan keadilan.
Refleksi: Ketika Difabel Jadi Sasaran
Kasus ini memperlihatkan betapa penyandang disabilitas kerap menjadi sasaran empuk predator seksual. Mereka sering dianggap lemah, mudah dibungkam, dan kurang mendapat perhatian publik. Padahal, kelompok ini justru seharusnya mendapat perlindungan ekstra dari masyarakat dan negara.
Kasus S hanyalah satu contoh nyata bahwa masih ada mentalitas bejat yang bersembunyi di tengah kehidupan sosial kita. Di balik rutinitas sehari-hari, ternyata ada predator yang siap memangsa orang-orang dengan kondisi rentan.
(Mond)
#PesisirSelatan #KekerasanSeksual #Difabel