Breaking News

Saling Lempar Tanggung Jawab di DPRD: Skandal Lahan RSUD Tigaraksa Makin Terang, Dugaan Korupsi Menguat

Gedung DPRD Kabupaten Tangerang Waktu Malam. Tangerang Update /Rhomi Ramdani

D'On, Tangerang
 — Aroma tak sedap dari kasus pengadaan lahan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, semakin menyengat. Di tengah sorotan publik pasca temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang justru mempertontonkan drama saling lempar tanggung jawab yang memalukan.

BPK dalam laporannya mengungkap bahwa Pemkab Tangerang telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp26,4 miliar untuk membeli lahan seluas 64.607 meter persegi yang ternyata tidak sesuai kebutuhan pembangunan rumah sakit. Lebih parah, sebagian dari lahan itu tumpang tindih dengan rumah-rumah warga di Perumahan Kota Tigaraksa Blok AE, membuka potensi konflik hukum dan sosial yang serius.

DPRD Melepas Tangan: "Itu Bukan Urusan Saya"

Ketika ditemui pada Senin malam, 21 Juli 2025, salah satu anggota DPRD Kabupaten Tangerang, Ustur Ubadi, secara gamblang menyatakan bahwa masalah ini bukan tanggung jawabnya. Politisi dari Fraksi PKB itu langsung mengarahkan wartawan ke Komisi I DPRD, yang menurutnya membidangi urusan pertanahan.

“Coba ke Komisi I (DPRD Kabupaten Tangerang),” katanya singkat, tanpa ekspresi bersalah atau keterkejutan.

Namun ketika estafet pertanyaan dilempar ke Komisi I, respons yang diterima justru mencengangkan: mereka menolak memikul beban tanggung jawab dan menyarankan agar masalah ini dilimpahkan ke Komisi II.

Ketua Komisi I, Mahfudz Fudianto, bahkan terlihat tak peduli dengan eskalasi isu. Dihubungi untuk mengonfirmasi sikap DPRD terkait kemungkinan pembentukan panitia khusus (pansus) atas dugaan korupsi yang tersirat dari temuan BPK, Mahfudz dengan enteng menolak memberi komentar.

“Kan saya waktu itu belum jadi dewan. Saya no comment, karena kami belum menjabat,” ujarnya, sambil melempar nama Ustur sebagai rujukan kembali. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan serius: apakah penyelewengan anggaran publik bisa diabaikan hanya karena pelaku pengawasan "belum menjabat" saat peristiwa terjadi?

Dugaan Korupsi Kian Terang, Publik Makin Geram

Di tengah kegagapan lembaga legislatif, skandal ini terus menggelinding. Fakta bahwa lahan dibeli di luar kebutuhan, bersinggungan dengan tanah milik warga, dan berpotensi menimbulkan sengketa hukum menegaskan adanya indikasi kuat penyimpangan anggaran.

Lebih ironis, pengadaan lahan itu terjadi saat Moch Maesyal Rasyid masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang sekaligus anggota Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Kini, sebagai Bupati Tangerang, publik berharap Maesyal bersuara dan menjelaskan peran dan tanggung jawabnya saat keputusan pembelian lahan itu diambil.

Namun harapan itu pupus. Pada Selasa, 15 Juli 2025, Maesyal menolak menjawab pertanyaan wartawan terkait dugaan markup harga lahan dan kejanggalan proses administrasinya. Ia memilih menghindar, memberi pernyataan singkat lalu bergegas meninggalkan gedung DPRD.

“Makasih, tadi saya sampaikan (pertanyaannya) hanya seputar ini (paripurna),” kata Maesyal, tanpa menoleh kembali.

Panggung Politik atau Medan Korupsi?

Sikap saling menghindar dari DPRD dan diamnya eksekutif menempatkan rakyat sebagai korban utama. Di satu sisi, warga Kabupaten Tangerang membutuhkan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai. Di sisi lain, dana puluhan miliar rupiah yang seharusnya digunakan secara tepat guna, justru menguap dalam proses pengadaan lahan yang diselimuti kabut kecurangan.

Tak ada satu pun pejabat yang secara tegas mengambil tanggung jawab atas temuan BPK ini. Komisi I, yang secara struktural membidangi urusan pertanahan, berdalih tidak terlibat karena belum menjabat. Komisi II dilemparkan tanggung jawab begitu saja. Ustur Ubadi menghindar. Ketua Komisi I diam. Bupati memilih bungkam.

Jika DPRD dan Pemkab Tangerang terus bersikap seolah “bukan urusan saya”, maka siapa yang sebenarnya menjaga amanat rakyat?

Desakan Pansus dan Audit Forensik

Para pemerhati anggaran dan kelompok masyarakat sipil kini mendesak DPRD Kabupaten Tangerang membentuk panitia khusus (pansus) guna membedah tuntas dugaan penyimpangan pengadaan lahan RSUD Tigaraksa. Tak hanya itu, sejumlah LSM bahkan mendorong BPK dan KPK untuk melakukan audit investigatif dan forensik terhadap transaksi pembelian lahan yang sarat kejanggalan ini.

Dengan jejak transaksi sebesar Rp26,4 miliar dan kejanggalan hak kepemilikan, skandal RSUD Tigaraksa bukan lagi sekadar kesalahan administratif. Ini berpotensi menjadi kasus korupsi struktural yang melibatkan banyak pihak, baik di legislatif maupun eksekutif.

Rakyat Menunggu, Hukum Ditantang

Di tengah lesunya reaksi DPRD dan bungkamnya pemerintah daerah, publik hanya bisa berharap lembaga pengawasan seperti KPK, BPK, dan aparat penegak hukum bertindak cepat. Jika tidak, RSUD Tigaraksa bisa menjadi monumen bisu dari sebuah proyek bermasalah yang dibangun di atas luka rakyat dan dana publik yang diselewengkan.

(T)

#Korupsi #DPRDKabupatenTangerang #RSUDTigaraksa