Tegas Tapi Mengundang Polemik: Penertiban TWA Lembah Anai dan Pergulatan Antara Konservasi dan Kepentingan Warga
Masyarakat tolak penertiban TWA Lembah Anai oleh Kemenhut dan BKSDA Sumbar (foto-pdk)
D'On, Tanah Datar — Di balik gemuruh air terjun dan rimbun pepohonan Lembah Anai yang menawan, tersimpan persoalan pelik yang menguji keseimbangan antara perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat. Kawasan yang dulunya menjadi primadona wisata kini menjadi pusat konflik antara pelestarian alam dan kelangsungan hidup warga sekitar.
Rabu (25/6/2025), Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat melakukan langkah tegas: menertibkan sembilan titik aktivitas usaha yang dinilai berada di dalam kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Anai, Nagari Singgalang, Kabupaten Tanah Datar. Penertiban ini mencakup area seluas sekitar 12 hektare dan mencakup penutupan tempat usaha populer seperti Pemandian Alam Damai Wisata serta peringatan keras kepada Rumah Makan Mangguang.
Konservasi dan Bencana: Alasan di Balik Ketegasan Pemerintah
Direktur Pencegahan dan Penanganan Pengaduan Kehutanan Kemenhut, Yazid Nurhuda, menjelaskan bahwa penertiban ini bukan semata urusan administratif, tapi demi melindungi kawasan konservasi dari kerusakan ekologis dan potensi bencana yang mengancam keselamatan masyarakat.
“Kawasan ini sangat rawan terhadap bencana, terutama banjir lahar dingin dari Gunung Singgalang yang bisa membawa lumpur dan batu besar ke aliran sungai. Tahun lalu kita sudah melihat dampaknya,” ujarnya. “Kami tak ingin kejadian serupa terulang, apalagi ketika masyarakat masih beraktivitas di zona rawan tersebut.”
Penertiban ini juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang Kemenhut untuk menata kembali pemanfaatan kawasan konservasi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Reaksi Pedas dari Pelaku Usaha: “Kami Ini Korban Juga”
Namun, kebijakan ini tidak diterima begitu saja. Di lapangan, reaksi keras muncul dari para pelaku usaha yang telah lama menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut. Mereka mempertanyakan keputusan pemerintah yang dianggap mendadak dan tanpa solusi.
Hendri, pengelola Pemandian Alam Damai Wisata, menyatakan kekecewaannya atas tindakan penutupan usaha miliknya. Ia merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah.
“Kenapa setelah sekian lama kami beroperasi, baru sekarang dibilang melanggar? Kami ini juga korban bencana. Tapi tak pernah ada bantuan dari pemerintah. Kalau sekarang kami dilarang, mana solusinya?” ujar Hendri penuh nada kecewa.
Ia juga menyoroti inkonsistensi kebijakan pemerintah. “Laman resmi BKSDA Sumbar dulu malah ikut mempromosikan objek wisata ini. Tapi sekarang, malah dilarang. Bagaimana bisa begitu?”
Sementara itu, Rumah Makan Mangguang yang juga termasuk dalam kawasan TWA, diberikan waktu satu minggu untuk menghabiskan persediaan bahan baku sebelum menghentikan operasionalnya.
Perspektif Masyarakat Adat: Ulayat yang Terlupakan
Tidak hanya pelaku usaha, tokoh adat pun turut bersuara. Ninik Mamak Nagari Singgalang, Yunelson Datuak Tumangguang, menegaskan bahwa kawasan Lembah Anai merupakan tanah ulayat masyarakat sejak zaman kolonial Belanda.
“Dulu kami bisa hidup dari hasil alam di sini. Tapi kini, kami dilarang mencari nafkah di tanah sendiri. Bahkan bagian menuju air terjun katanya sudah ada yang bersertifikat. Ini menyakitkan,” ujar Yunelson dengan nada geram.
Ia juga mengaku sudah beberapa kali mengundang Gubernur Sumatera Barat dan instansi terkait untuk berdialog, namun belum pernah mendapat tanggapan serius. “Kami hanya ingin kejelasan, bukan konflik. Tapi suara kami seperti diabaikan.”
Sertifikat Lama, Status Kawasan Dipertanyakan
Dalam proses penertiban, Yazid mengungkap bahwa terdapat sejumlah dokumen sertifikat tanah yang telah terbit sejak masa Hindia Belanda. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang legalitas kawasan tersebut.
“Kalau benar sertifikat itu terbit lebih dulu dari penetapan kawasan hutan, maka secara hukum bisa saja ditetapkan sebagai Area Penggunaan Lain (APL). Tapi kalau berada di zona yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung atau cagar alam, tentu tidak dibenarkan,” jelas Yazid.
Isu ini membuka ruang untuk peninjauan ulang terhadap status kepemilikan lahan dan penetapan kawasan konservasi yang tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat.
Mencari Titik Temu: Antara Kelestarian dan Keadilan Sosial
Kasus Lembah Anai memperlihatkan kompleksitas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah berkewajiban menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah bencana. Di sisi lain, terdapat masyarakat yang telah lama tinggal dan menggantungkan hidupnya dari tanah tersebut.
Penegakan hukum memang penting. Namun keadilan ekologis juga harus berjalan seiring dengan keadilan sosial. Ketika ruang hidup warga tergerus demi konservasi, maka solusi berkeadilan menjadi mutlak dibutuhkan.
Kemenhut menegaskan bahwa penertiban serupa akan terus dilakukan untuk melindungi kawasan konservasi di seluruh Indonesia. Namun, kasus Lembah Anai bisa menjadi pelajaran penting: bahwa kebijakan terbaik adalah yang tidak hanya tegas, tetapi juga mampu merangkul semua pihak yang terdampak.
(Pdk/int)
#TWALembahAnai #LembahAnai #SumateraBarat