Breaking News

Nyawa Desi Erianti dan Pertaruhan Sistem Kesehatan Publik Kita: Sebuah Gugatan atas Nama Kemanusiaan

Ilustrasi Mawar di Pemakaman 

Dirgantaraonline
- "Satu nyawa hilang, bukan karena tak ada rumah sakit, tapi karena tak diberi kesempatan untuk diselamatkan."

I. Tragedi yang Tak Sepatutnya Terjadi

Desi Erianti, seorang warga biasa yang semestinya mendapatkan perlindungan dari sistem kesehatan negara, justru kehilangan nyawanya. Bukan karena tidak ada rumah sakit. Bukan karena fasilitas yang tak tersedia. Tapi karena diduga ada penolakan layanan medis oleh RSUD Rasidin, Padang. Apalagi janji dari pemerintah Kota Padang sendiri untuk memberikan layanan BPJS gratis dengan progul Padang Sehat, namun itu semua hanya retorika tanpa aksi nyata.

Tragedi ini menggugah kesadaran publik. Bukan hanya soal prosedur, tapi soal nurani. Soal siapa yang sebenarnya dilayani oleh sistem kesehatan kita: manusia atau angka? Warga atau kebijakan?

II. Penolakan Pasien: Malpraktik, Salah SOP, atau Cerminan Krisis Sistemik?

Pertanyaan utama yang harus dijawab bukan hanya “siapa yang bertanggung jawab,” tapi “bagaimana sistem ini memungkinkan tragedi seperti ini terjadi?”

  1. Apakah dokter jaga dan tenaga medis telah menjalankan tugasnya sesuai sumpah profesi dan standar kemanusiaan?

    • Bila mereka bertindak berdasarkan protokol, apakah protokol itu adil dan berpihak pada pasien?
    • Bila mereka lalai, maka ini adalah kasus kelalaian yang harus diproses hukum.
  2. Jika penolakan tersebut merupakan bagian dari SOP institusi:

    • Siapa yang menyusun SOP tersebut?
    • Apakah BPJS, manajemen RS, atau regulasi dari Kementerian Kesehatan?
    • Apakah tidak ada ruang diskresi untuk kemanusiaan?

III. “Gawat Darurat”: Kata yang Menentukan Hidup dan Mati

Sistem BPJS dan pelayanan publik saat ini sering kali mengedepankan istilah “gawat darurat” sebagai filter untuk layanan. Namun, justru di sinilah absurditas muncul:

  • Siapa yang berhak menentukan “cukup darurat” atau tidak?
  • Apakah pasien harus sekarat terlebih dahulu untuk dianggap layak ditolong?
  • Bagaimana jika definisi medis “gawat darurat” tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan?

Kita melihat sistem yang mengukur derajat nyawa dengan parameter kaku. Tidak ada ruang bagi kompleksitas kondisi pasien, terutama yang paling rentan secara ekonomi.

IV. Sistem Kesehatan: Masihkah Berpihak pada Rakyat?

Mari kita jujur. Banyak warga kecil yang merasa takut ke rumah sakit karena khawatir ditolak, atau dibebani administrasi yang rumit. Layanan kesehatan mestinya menjadi jaring pengaman terakhir, bukan menjadi tembok penghalang.

Jika BPJS dan rumah sakit publik hanya bersedia melayani mereka yang lolos klasifikasi “darurat”, maka pertanyaannya:

  • Untuk siapa sistem ini dibangun?
  • Masihkah negara hadir untuk mereka yang tak berdaya?
  • Atau kita telah mengorbankan kemanusiaan di altar efisiensi dan birokrasi?

V. Bukan Mencari Kambing Hitam, Tapi Membangun Masa Depan

Kita tidak sedang mencari siapa yang bisa disalahkan agar kasus ini dilupakan. Kita sedang menuntut transparansi, evaluasi sistemik, dan perubahan menyeluruh. Karena:

  • Satu nyawa yang hilang tidak bisa diganti.
  • Tapi satu perubahan yang tepat bisa menyelamatkan ribuan nyawa lain ke depan.

Kasus Deis Erianti harus menjadi titik balik. Negara, BPJS, rumah sakit, dan seluruh komponen sistem kesehatan harus berhenti menormalisasi kekakuan kebijakan yang membunuh secara diam-diam.

VI. Seruan: Saatnya Menempatkan Kemanusiaan Lebih Tinggi dari Aturan

Jika negara terus membiarkan tragedi seperti ini terjadi tanpa koreksi serius, maka kepercayaan publik terhadap sistem akan runtuh. Apa gunanya negara jika tidak mampu melindungi yang paling rentan?

Kita menuntut:

  • Audit menyeluruh terhadap prosedur pelayanan gawat darurat.
  • Evaluasi kebijakan BPJS dan mekanisme triase medis.
  • Perlindungan hukum bagi pasien miskin yang ditolak layanan.
  • Transparansi dalam semua proses pengambilan keputusan medis di rumah sakit publik.

Satu nyawa Deis Erianti telah hilang. Jangan biarkan itu menjadi angka yang tenggelam di antara laporan rumah sakit. Jadikan ini nyala api perubahan. Karena ketika satu sistem gagal melindungi satu nyawa, itu adalah kegagalan kita semua.

Nyawa rakyat bukan statistik. Kemanusiaan tidak boleh tunduk pada SOP.

Penulis: Osmond Abu Khalil

#UsutTuntas #RSUDRasidin #BPJSHarusBerpihak #KeadilanUntukDesiErianti #KesehatanAdalahHak