Breaking News

Miris!Korban Pemerkosaan Malah Diperkosa Lagi Oleh Oknum Polisi Saat Cari Keadilan

Ilustrasi 

D'On, Sumba Barat Daya
 — Ironi yang paling kelam dari wajah penegakan hukum di negeri ini terungkap dari pedalaman Sumba Barat Daya. Seorang perempuan, yang seharusnya dilindungi setelah menjadi korban pemerkosaan, justru kembali menjadi korban kali ini oleh tangan aparat yang seharusnya memberinya keadilan.

Peristiwa memilukan ini terjadi di wilayah Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, dan menyeret nama seorang anggota kepolisian berpangkat Aipda, berinisial PS, yang bertugas di Polsek Wewewa Selatan.

Mencari Keadilan, Justru Disambut Nestapa

Kisah tragis ini bermula pada 1 Maret 2024, saat korban yang identitasnya dirahasiakan demi keamanan, mendatangi kantor Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan sebuah kasus pemerkosaan yang dialaminya. Ia datang dengan harapan besar: agar pelaku yang merusak hidupnya bisa diadili dan agar ia bisa mendapatkan perlindungan hukum.

Namun alih-alih ditangani secara profesional dan manusiawi, korban justru dihadapkan pada situasi yang mencederai hati nurani.

Menurut keterangan Kapolres Sumba Barat Daya, AKBP Harianto Rantesalu, korban saat itu bertemu langsung dengan Aipda PS yang menerima laporan awalnya. Namun, alih-alih langsung menindaklanjuti laporan, PS meminta korban datang kembali keesokan harinya dengan alasan teknis: Polsek Wewewa Selatan tidak memiliki Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), sehingga laporan harus dialihkan ke tingkat Polres.

Jeratan Tipu Muslihat: Jemputan Palsu Berujung Petaka

Hari berikutnya, 2 Maret, menjadi titik balik paling kelam dalam hidup korban. Aipda PS menjemput korban dari rumahnya dengan dalih akan melakukan pemeriksaan tambahan di kantor polisi. Tanpa curiga, korban mengikuti arahan itu, mengira bahwa ini adalah bagian dari prosedur hukum.

Namun tragisnya, yang terjadi bukanlah pemeriksaan lanjutan, melainkan pemerkosaan kedua. Di dalam institusi tempat hukum seharusnya ditegakkan, korban justru kembali dilecehkan secara brutal oleh orang berseragam yang memiliki kekuasaan atas proses hukum.

“Pada tanggal 2 Maret, keesokan harinya, Aipda PS menjemput korban dengan alasan pemeriksaan tambahan, kemudian dibawa ke polsek. Di sanalah peristiwa pemerkosaan itu terjadi,” ungkap AKBP Harianto dalam keterangannya pada Senin (9/6/2025).

Pelaku Mengaku, Proses Hukum Dimulai

Setelah mendapat laporan resmi, pihak kepolisian melakukan investigasi internal. Dari hasil penyelidikan, Aipda PS akhirnya mengakui perbuatannya.

“Pelaku sudah mengakui perbuatannya. Kasusnya sudah naik ke tahap penyidikan dan saat ini yang bersangkutan telah kami tempatkan dalam penempatan khusus (patsus),” kata AKBP Harianto.

Tindakan patsus tersebut, kata Kapolres, akan berlangsung selama 30 hari ke depan, sembari proses hukum dan pemeriksaan etik berjalan.

Luka yang Lebih Dalam dari Luka Fisik

Kasus ini menyisakan luka ganda bagi korban tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara psikis dan moral. Di saat korban mencari perlindungan dan keadilan, yang didapat justru pengkhianatan paling brutal dari institusi yang seharusnya menjadi tempat terakhir bernaung.

Peristiwa ini menyulut kemarahan publik dan menjadi cermin buram tentang perlindungan korban kekerasan seksual di daerah. Tak sedikit aktivis perempuan yang menyerukan agar Aipda PS tidak hanya diadili secara etik, tetapi juga secara pidana dengan hukuman maksimal.

Tuntutan Transparansi dan Keadilan

Kasus ini juga memunculkan pertanyaan besar: seberapa aman korban kekerasan seksual melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum? Bagaimana bisa seorang petugas polisi menggunakan wewenangnya untuk melakukan kejahatan terhadap korban?

Lembaga perlindungan perempuan menuntut agar proses hukum dilakukan secara transparan dan terbuka untuk publik. Selain itu, mereka mendesak agar unit PPA tersedia di semua polsek, khususnya di daerah terpencil seperti Sumba, agar kejadian serupa tidak terulang.

Catatan Redaksi: Jika Anda adalah korban atau menyaksikan kekerasan seksual, segera hubungi layanan darurat atau lembaga pendamping hukum terdekat. Keadilan tidak boleh tunduk pada seragam atau pangkat.

(K)

#Perkosaan #Kriminal #Polri #OknumPolisiPerkosaWarga