Breaking News

Hasan Nasbi Tegaskan: Wakil Menteri Boleh Rangkap Jabatan, Tak Langgar Putusan MK

Konferensi pers Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, di Gedung Pramuka Kwartil, Jakarta Pusat, Selasa (3/6/2025).

D'On, Jakarta –
Polemik mengenai rangkap jabatan di tubuh pemerintah kembali mencuat ke permukaan, kali ini melibatkan para wakil menteri. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, angkat bicara menanggapi kritik publik yang mempertanyakan keabsahan rangkap jabatan yang dilakukan sejumlah wakil menteri, khususnya sebagai komisaris dan dewan pengawas di berbagai badan usaha milik negara (BUMN).

Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor PCO, Jakarta, Selasa (3/6/2025), Hasan menegaskan bahwa tidak ada ketentuan hukum yang melarang wakil menteri merangkap jabatan. Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang selama ini dijadikan rujukan oleh sebagian pihak yang menolak rangkap jabatan tersebut.

"Yang jelas sampai hari ini, di Putusan MK Nomor 80 Tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang secara eksplisit melarang wakil menteri merangkap jabatan. Itu clear. Memang di bagian pertimbangan ada frasa-frasa yang mengarah ke sana, tapi bukan bagian dari amar putusan," ujar Hasan dengan tegas.

Bukan Pelanggaran, Tapi Masih Abu-abu

Hasan juga menyebut bahwa beberapa pejabat wakil menteri yang saat ini menjabat rangkap, tidak melanggar aturan apapun, karena ketentuan pelarangan secara eksplisit memang tidak tertuang dalam hukum positif saat ini.

Ia mengakui bahwa larangan rangkap jabatan memang secara tegas berlaku bagi menteri dan pejabat selevel dirinya sebagai kepala lembaga negara, namun tidak bagi wakil menteri.

"Kalau anggota kabinet seperti menteri atau kepala PCO seperti saya, memang tidak boleh. Tapi wakil menteri? Sampai hari ini, tidak ada aturan yang melarang," tambah Hasan.

Gugatan Konstitusional: Warga Negara Menggugat

Pernyataan Hasan tersebut muncul di tengah langkah hukum yang sedang ditempuh oleh Juhaidy Rizaldy Roringkon, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies. Ia mengajukan uji materi terhadap Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dengan tujuan agar larangan rangkap jabatan diperluas hingga mencakup wakil menteri.

Menurut Juhaidy, ketiadaan larangan eksplisit terhadap wamen justru membuka celah penyalahgunaan kekuasaan. Ia mengklaim bahwa setidaknya enam wakil menteri saat ini menjabat pula sebagai komisaris atau dewan pengawas di BUMN, yang menurutnya menimbulkan konflik kepentingan serius.

Pasal 23 UU Kementerian Negara sendiri hanya mengatur larangan bagi menteri, yang dilarang merangkap sebagai:

  • a. pejabat negara lain sesuai peraturan perundang-undangan,
  • b. komisaris atau direksi BUMN/swasta,
  • c. pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN dan/atau APBD.

Namun, Juhaidy menilai bahwa fungsi dan peran wakil menteri seharusnya dipandang sebagai satu kesatuan dengan menteri, sehingga seharusnya juga tunduk pada batasan yang sama.

“Wakil menteri adalah bagian dari kepemimpinan kementerian, dan posisinya tidak berdiri sendiri. Kalau menteri dilarang merangkap jabatan, maka logis dan adil jika wakil menteri juga demikian,” ujar Juhaidy.

Ia pun mengutip pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang menurutnya menegaskan bahwa presiden memiliki hak prerogatif dalam mengangkat dan memberhentikan wakil menteri, dan karena itu posisinya bukan sekadar pembantu teknis, melainkan memiliki bobot politik dan administratif tinggi.

Potensi Celah Etika dan Tata Kelola

Isu rangkap jabatan bukan sekadar soal legalitas, tapi juga menyangkut etika jabatan publik dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Ketika seorang pejabat menduduki dua posisi strategis — di pemerintahan dan di perusahaan negara — pertanyaan besar muncul: apakah kepentingan publik benar-benar diutamakan?

Sejumlah pengamat juga menyoroti bagaimana rangkap jabatan bisa menimbulkan konflik kepentingan, melemahkan pengawasan, hingga mengaburkan akuntabilitas.

Namun bagi Hasan Nasbi, hingga ada perubahan dalam hukum yang berlaku, maka pengangkatan wakil menteri yang merangkap jabatan masih sah secara hukum. Ia pun mempersilakan masyarakat untuk menggugat bila merasa dirugikan.

"Kalau ada yang merasa hak konstitusionalnya terganggu, silakan menggugat. Itu bagian dari hak warga negara, dan kami hormati prosesnya," tutup Hasan.

Perlu Kepastian Hukum Lebih Tegas

Polemik ini membuka ruang perdebatan penting tentang reformasi tata kelola jabatan publik di Indonesia. Apakah cukup hanya mengandalkan tafsir pertimbangan putusan? Atau sudah saatnya ada regulasi tegas yang menyamakan batasan antara menteri dan wakil menteri, demi mencegah tumpang tindih kepentingan?

Yang jelas, selama belum ada ketentuan eksplisit, "wilayah abu-abu" ini masih akan terus menjadi sumber kontroversi.

(Mond)

#Nasional #PutusanMK #RangkapJabatan #HasanNasbi