Darurat Sampah di Batang Anai: 5 Ton Sampah Setiap Hari, Ancaman Lingkungan Mengintai Padang Pariaman
Salah satu pemandangan tak sedap, di mana sampah dibuang sembarang di tempat pembuangan sampah ilegal, tepatnya di jembatan Duku, Kenagarian Kasang, Kecamatan Batang Anai.
D'On, Padang Pariaman, Sumatera Barat – Aroma tak sedap dan tumpukan sampah yang menjulang kian menjadi pemandangan lumrah di Kecamatan Batang Anai. Ironisnya, kawasan yang berpotensi menjadi gerbang utama ke Sumatera Barat ini justru mencatatkan diri sebagai wilayah dengan tingkat produksi sampah tertinggi di Kabupaten Padang Pariaman. Setiap harinya, Batang Anai menyumbang sekitar 5 ton sampah, sebuah angka yang mencengangkan jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di kabupaten tersebut.
Parahnya lagi, angka ini hanyalah sampah yang berhasil dicatat oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Padang Pariaman, melalui kerja sama dengan masyarakat yang secara aktif mengelola sampah. Belum termasuk limbah liar yang berserakan di tepi-tepi jalan, selokan, dan kebun, yang sebagian besar diduga berasal dari luar kecamatan.
“Kita sudah melakukan pemetaan menyeluruh. Dan dari hasil itu, Batang Anai menempati posisi teratas untuk volume sampah,” ungkap Kepala DLH Padang Pariaman, Syafrion, saat menghadiri peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tingkat Sumatera Barat di Masjid Agung Syekh Burhanuddin, Kamis (5/6).
33 Titik Sebaran Sampah, Ancaman Laten yang Terus Membesar
Menurut Syafrion, saat ini terdapat setidaknya 33 titik rawan sampah yang tersebar di berbagai kecamatan. Batang Anai menduduki posisi terburuk, disusul Lubuk Alung, 2x11 Enam Lingkung, Nan Sabaris, VII Koto, Sungai Geringging, hingga Sungai Limau.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan rendahnya kesadaran lingkungan. Tak hanya merusak pemandangan, sebaran sampah liar ini mengancam kualitas air, udara, bahkan kesehatan warga setempat.
TPA Masih Kosong, Edukasi Masih Kurang
Padang Pariaman sendiri sebenarnya memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan luas mencapai 2 hektare, yang disewa untuk jangka waktu 20 tahun. Namun ironisnya, hingga kini TPA tersebut baru dimanfaatkan sekitar 25 persen saja. Artinya, kapasitas teknis masih tersedia, namun pemanfaatan dan sistem pengelolaannya belum optimal.
“Untuk 20 tahun ke depan, kapasitas kita masih aman. Tapi kalau pola konsumsi dan pengelolaan sampah tidak berubah, tentu kita akan kehabisan waktu lebih cepat dari yang diperkirakan,” ujar Syafrion, yang juga pernah menjabat sebagai Camat Batang Anai.
Dalam upaya jangka panjang, pemerintah kabupaten telah mulai mengampanyekan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, serta mendorong perubahan pola pikir masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Salah satu gerakan yang digaungkan adalah anjuran kepada emak-emak pasar agar membawa “kambuik” atau “katidiang” – wadah tradisional dari anyaman – sebagai pengganti kantong plastik.
Wabup: Kita Harus Bergerak dari Hulu, Bukan Cuma Bersih-bersih di Hilir
Wakil Bupati Padang Pariaman, Rahmad Hidayat, turut angkat bicara. Ia mengakui kondisi darurat sampah di wilayahnya dan menyebut bahwa penanganan tak bisa hanya sebatas aksi bersih-bersih sesaat. Diperlukan pendekatan struktural yang melibatkan seluruh elemen pemerintahan hingga tingkat terendah.
“Saya minta para wali korong, wali nagari, dan camat untuk aktif mengedukasi warganya agar tidak membuang sampah sembarangan. Kita juga minta agar disiapkan tempat pembuangan sementara (TPS) di lokasi-lokasi strategis yang mudah dijangkau oleh DLH,” jelasnya.
Namun ia juga menambahkan bahwa saat ini Padang Pariaman belum memiliki tempat pembuangan sampah milik sendiri yang representatif. Pemerintah kabupaten tengah mengupayakan penyediaan lahan dan pembangunan TPS yang dilengkapi mesin pengolah sampah, agar tidak sekadar menimbun, tapi juga mampu meminimalisasi volume secara berkelanjutan.
Menggugah Kesadaran, Bukan Sekadar Mengangkut Sampah
Kasus Batang Anai menjadi cerminan bahwa masalah sampah bukan hanya soal teknis pengangkutan atau ketersediaan TPA. Ini adalah masalah kesadaran kolektif. Di tengah pesatnya pertumbuhan pemukiman dan aktivitas ekonomi, edukasi lingkungan masih tertinggal jauh. Tanpa ada perubahan perilaku dari rumah tangga, tak ada teknologi atau sistem pengelolaan yang mampu menahan laju krisis ini.
Jika tidak segera diatasi, darurat sampah ini bisa bertransformasi menjadi bencana ekologi, dari banjir akibat saluran tersumbat hingga potensi merebaknya penyakit.
Saat ini, semua mata tertuju pada Padang Pariaman. Mampukah pemerintah dan masyarakatnya bersatu menghadapi tantangan ini, atau justru menyerah pada gelombang sampah yang terus datang setiap hari?
(Mond)
#Sampah #KabupatenPadangpariaman