Dibalik Penggusuran Ormas di Lahan BMKG: Pedagang Kecil Jadi Korban, Sapi Kurban Masih Bertahan
Satpam BMKG dan pemasangan pagar oleh BMKG di Lahan BMKG, Pondok Betung, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (25/5/2025).
D'On, Tangerang Selatan — Pagi yang biasanya riuh oleh suara pedagang dan hiruk-pikuk aktivitas jual beli di lahan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pondok Betung, kini sunyi. Lapak-lapak makanan yang sebelumnya berdiri dengan harapan rezeki, kini hanya meninggalkan bayangan. Semua berubah sejak aparat gabungan mengosongkan lahan itu dari cengkeraman organisasi kemasyarakatan GRIB Jaya.
Sabtu, 24 Mei 2025, menjadi hari yang menentukan. Sebanyak 426 personel Polda Metro Jaya dikerahkan, didukung alat berat yang tak hanya meratakan posko ormas, tapi juga menggusur ketenangan para pedagang yang merasa telah ‘sah’ menyewa lahan ironisnya, kepada pihak yang tak memiliki kewenangan apapun.
Mimpi Pedagang yang Direnggut
Bukan tanpa alasan para pedagang berani membuka lapak di sana. Mereka telah menyetor sejumlah uang kepada GRIB Jaya, yang mengklaim sebagai ‘pengelola lahan’. Namun klaim itu terbantahkan: tanah seluas 127 ribu meter persegi itu adalah milik negara—tepatnya milik BMKG yang bersertifikat Hak Pakai dan tak pernah tercatat dalam sengketa hukum apapun.
Kini, mereka para pedagang makanan terkatung-katung. Berjuang mencari nafkah, mereka malah terjebak dalam pusaran perebutan lahan yang tak mereka pahami. Kabar baiknya, pemerintah daerah tak tinggal diam.
“Kami telah berkoordinasi dengan Polres dan Pemda Tangsel. Mereka, khususnya asisten pemerintahan dan camat yang hadir saat penertiban, menjanjikan relokasi bagi para pedagang,” ungkap Kombes Pol Wira Satya Triputra, Dirreskrimum Polda Metro Jaya, dalam konferensi pers, Senin (26/5).
Relokasi ini, menurut Wira, adalah bentuk tanggung jawab moral pemerintah terhadap warga yang sebenarnya juga menjadi korban. Namun, prosesnya tentu tak instan. Lokasi baru, izin usaha, dan keberlangsungan ekonomi para pedagang harus dipikirkan secara matang.
Sapi-Sapi yang Tak Bisa Pindah Seketika
Di sisi lain, nasib pedagang hewan kurban sedikit berbeda. Sekitar 200 ekor sapi masih berada di lokasi, diam di kandang-kandang darurat, seolah belum tahu nasib akan berubah pasca Idul Adha.
“Kami beri toleransi. Mereka hanya berjualan sampai hari raya Idul Adha. Karena memindahkan ratusan sapi jelas tidak bisa dilakukan dalam semalam,” kata Wira. “Setelah itu, lahan harus dikosongkan.”
Langkah ini dinilai bijak. Menjelang Idul Adha, kebutuhan akan hewan kurban meningkat tajam. Jika para pedagang hewan kurban serta-merta dipaksa pergi, bukan hanya mereka yang merugi, masyarakat sekitar pun akan kesulitan mendapatkan sapi.
GRIB Jaya: Kuasa Tanpa Hak?
Sumber persoalan bermula dari keberadaan GRIB Jaya di lahan BMKG yang disebut-sebut sudah berlangsung selama 2 hingga 3 tahun. Posko, lapak, bahkan kegiatan administrasi terorganisir seolah memberi legitimasi palsu pada keberadaan mereka.
Gusmanto, Sekretaris Utama BMKG, menegaskan lahan itu adalah aset negara dan selama ini dikuasai secara sepihak oleh GRIB. “Kegiatan masif itu sudah berjalan 2-3 tahun. Tapi secara resmi, lahan ini milik kami, dan tak ada catatan konflik hukum,” tegasnya.
Pernyataan ini diperkuat oleh Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid. “Tanah tersebut bersertifikat Hak Pakai atas nama BMKG. Tidak ada catatan konflik ataupun sengketa,” ujarnya pada Minggu (25/5).
Namun, GRIB Jaya punya cerita lain. Melalui pernyataan resmi dari Ketua Tim Hukum dan Advokasinya, Wilson Colling, GRIB menyangkal tuduhan penguasaan lahan. “Kami hanya mendampingi ahli waris secara hukum, atas permintaan resmi mereka, sejak 2024,” katanya.
Wilson menyebut pendampingan dilakukan karena perjuangan para ahli waris yang telah berlangsung puluhan tahun tak kunjung membuahkan hasil.
Titik Balik
Kini, 17 orang telah diamankan, termasuk 11 anggota GRIB Jaya dan enam orang yang mengaku sebagai ahli waris lahan. Proses hukum berjalan, lahan dikosongkan, namun luka sosial masih terbuka.
Apa yang terjadi di Pondok Betung bukan sekadar penertiban lahan. Ini adalah cerminan bagaimana ketidakjelasan hak dan wewenang bisa membuka ruang bagi pemanfaatan ilegal, dan betapa warga kecil sering kali jadi korban di tengah tarik-menarik kuasa.
Relokasi menjadi langkah awal, tapi yang dibutuhkan para pedagang lebih dari sekadar tempat baru: mereka butuh kepastian hukum, keadilan ekonomi, dan ruang hidup yang tidak lagi dihantui oleh bayang-bayang ‘pengelola tak resmi’.
(Mond)
#GRIBJaya #BMKG #SengketaLahan