Breaking News

Ratusan Emak-Emak Mengamuk, Rumah Bandar Narkoba Dibakar: Amarah Ibu-ibu Meledak Akibat Polisi Dinilai Lamban

Ilustrasi Narkoba 

D'On, MANDAILING NATAL
— Kesabaran warga Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, akhirnya habis. Pada Kamis (18/12/2025), ratusan emak-emak yang selama ini hanya bisa mengeluh dan berdoa, meledakkan kemarahan mereka dengan cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya: membakar rumah-rumah yang diduga kuat milik bandar narkoba.

Aksi ini bukan sekadar luapan emosi sesaat. Ia adalah akumulasi kekecewaan bertahun-tahun, jeritan para ibu yang menyaksikan anak-anak mereka pelan-pelan hancur oleh narkotika, sementara hukum seolah berjalan tertatih atau bahkan tak berjalan sama sekali.

Berawal dari Doa, Berakhir dengan Amuk Massa

Ironis sekaligus simbolis. Amarah itu meledak justru usai pengajian dan doa bersama. Tanpa komando, tanpa provokator yang jelas, massa yang didominasi kaum ibu rumah tangga bergerak serempak menuju titik-titik yang selama ini dikenal warga sebagai sarang peredaran narkoba.

Di lokasi, situasi berubah drastis. Batu beterbangan, teriakan menggema, dan api melahap bangunan. Rumah-rumah yang dituding sebagai markas bandar narkoba menjadi sasaran pelampiasan amarah kolektif.

Pelaksana Tugas Kepala Desa Tabuyung, Iskandar Muda Tanjung, mengonfirmasi bahwa aksi tersebut murni spontanitas warga.

“Setelah acara pengajian dan doa bersama, ibu-ibu ini langsung bergerak. Di lokasi mereka mengamuk, melempari bangunan dengan batu, lalu membakar rumah yang diduga milik bandar narkoba,” ujar Iskandar kepada wartawan, Jumat (19/12/2025).

Generasi Muda Rusak, Negara Terasa Absen

Menurut Iskandar, kekhawatiran warga sudah berada di titik kritis. Para ibu melihat langsung bagaimana narkoba menggerogoti generasi muda desa—remaja putus sekolah, perilaku menyimpang, hingga meningkatnya kriminalitas kecil yang meresahkan.

Pihak desa, kata dia, sebenarnya telah berulang kali mencoba menenangkan warga dan meminta agar tidak main hakim sendiri. Namun upaya itu kandas oleh kekecewaan mendalam terhadap aparat penegak hukum.

“Ini bukan pertama kali warga mengeluh. Sudah sering dilaporkan, tapi peredaran narkoba tetap ada, seperti kebal hukum,” tegas Iskandar.

“Tamparan Keras” untuk Aparat Penegak Hukum

Aksi pembakaran ini menjadi tamparan keras bagi kepolisian, khususnya Polres Madina. Warga secara terbuka menilai aparat lamban, tidak responsif, bahkan terkesan menutup mata terhadap laporan masyarakat.

Dalam sudut pandang warga, hukum baru datang setelah segalanya terjadi.

Kasi Humas Polres Madina, Ipda Fahrul Syahban Simanjuntak, mengakui bahwa personel kepolisian baru tiba setelah aksi perusakan dan pembakaran berlangsung.

“Masyarakat melakukan penggerebekan di rumah-rumah yang dijadikan tempat peredaran narkoba. Personel Satresnarkoba kemudian turun ke lokasi setelah peristiwa tersebut,” jelasnya.

Pernyataan ini justru memperkuat narasi warga: negara selalu datang terlambat.

Emak-Emak Mengambil Alih Peran Negara

Fenomena ini mencerminkan satu realitas pahit: ketika hukum tak lagi dipercaya, masyarakat memilih jalannya sendiri. Para ibu—yang selama ini dikenal sebagai simbol kesabaran dan ketenangan berubah menjadi garda terakhir penyelamat masa depan anak-anak mereka.

Aksi ini bukan pembenaran kekerasan, tetapi alarm keras bahwa ketidakseriusan memberantas narkoba bisa berujung pada ledakan sosial.

Situasi Masih Mencekam, Pesan Warga Sudah Jelas

Hingga kini, Desa Tabuyung masih dalam pemantauan aparat kepolisian. Meski kondisi mulai kondusif, bara kemarahan belum sepenuhnya padam.

Bagi warga, pesan sudah sangat jelas:
Narkoba harus diberantas, atau rakyat yang akan bertindak.

Aksi ratusan emak-emak di Tabuyung menjadi peringatan serius bagi seluruh pemangku kebijakan bahwa ketika hukum kehilangan taringnya, amarah rakyat bisa menjadi api yang melahap segalanya.

(L6)

#Narkoba #Peristiwa #BandarNarkoba