Breaking News

Puluhan Anak Tewas Akibat Banjir Bandang di Sumbar, Banyak Jenazah Sulit Dikenali

Prajurit Batalyon TP 897/Singalang menggotong jenazah korban meninggal akibat banjir bandang di Nagari Salareh Aia Timur, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Senin (1/12/2025). Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO

D'On Sumatera Barat
- Deretan kantong jenazah yang tertata di ruang pendingin Rumah Sakit Bhayangkara Padang terasa seperti barisan sunyi yang menunggu dipanggil pulang. Di dalamnya, puluhan anak yang beberapa hari lalu masih berlarian di halaman rumah mereka kini terbujur tanpa nama. Banjir bandang yang menggulung wilayah Sumatera Barat telah merampas bukan hanya nyawa, tapi juga identitas.

Tim DVI bekerja dalam lingkaran waktu yang kian menyempit. Wajah-wajah kecil itu sudah tak lagi menampakkan siapa mereka. Lumpur, arus deras, dan waktu menggerus gambaran terakhir yang mungkin bisa dikenali keluarga.

Sebagian besar korban adalah anak-anak. Pemeriksaan sidik jari tak bisa dilakukan, karena sidik jari mereka belum berkembang sempurna. Secara visual juga sudah sangat sulit,” ujar Ps. Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Padang, dr. Harry Andromeda, dengan nada yang seolah menahan pecahnya suasana di sekitarnya, Selasa (2/12).

Di meja antemortem, berkas-berkas laporan orang hilang tetap kosong. Tidak ada satu pun yang cocok dengan 25 jenazah yang kini berstatus Mr. X atau tepatnya Little X, anak-anak yang belum bisa menemukan jalan pulang.

Mungkin sebagian orang tua mereka juga menjadi korban. Tidak ada yang datang mencari. Itu yang membuat proses identifikasi terhenti,” lanjut Harry.

DNA Jadi Harapan Terakhir

Dalam situasi ketika wajah tak lagi bicara dan sidik jari tak bisa bersuara, tim DVI berpegang pada satu-satunya pintu terakhir: DNA.

Gigi, jari, hingga serpihan tulang diambil hati-hati, seolah para petugas sedang menyelamatkan sisa-sisa identitas yang masih bertahan.

Namun upaya itu pun menghadapi tembok tinggi. Sampel DNA hanya berarti jika ada pembanding. Tanpa keluarga yang datang, tidak ada data yang bisa dicocokkan.

Kami sudah mengambil semua sampel. Tapi tanpa sektor pembanding, proses identifikasi tak dapat dilangkahkan lebih jauh,” tegas Harry.

Di beberapa sudut, petugas DVI tampak menunduk pada formulir kosong tempat semestinya nama seorang anak kembali dituliskan untuk terakhir kalinya.

Warga Diminta Datang ke RS Bhayangkara atau Posko DVI

Harapan kini digantungkan pada masyarakat. Bagi siapa pun yang kehilangan anak, keponakan, cucu, atau kerabat kecil mereka, pihak RS mengimbau untuk segera datang ke RS Bhayangkara Padang atau posko DVI di kabupaten/kota.

Dari air liur, rambut, atau darah, identitas bisa ditemukan dan seorang anak bisa pulang.

Masalah Baru: Keterbatasan Ruang Pendingin

Di balik upaya identifikasi, RS Bhayangkara menghadapi kenyataan lain: ruang pendingin yang minim. Sunyi dan dingin ruangan itu terlalu sempit untuk menampung duka yang begitu banyak.

Kami hanya punya empat pendingin. Rumah Sakit M Djamil dua, RS Unand dua. Sisanya kami titipkan. Bahkan kami mendapat bantuan mobil boks pendingin dari Dinas Pertanian,” kata Harry, menggambarkan betapa rumah sakit kini bukan lagi sekadar tempat perawatan, melainkan penampung gelombang duka yang tak pernah direncanakan.

Jenazah-jenazah kecil itu kini tersebar di beberapa rumah sakit, menunggu seseorang datang menyebut nama yang selama ini mungkin mereka panggil saat tidur: ibu, ayah, nenek, atau siapa pun yang dulu menggandeng tangan kecil mereka.

(Mond)

#BanjirSumbar #BencanaAlam #SumateraBarat #BanjirBandang