Breaking News

ICW dan KontraS Laporkan Dugaan Pemerasan 43 Anggota Polri ke KPK, Nilai Capai Rp26,2 Miliar

ICW dan KontraS melaporkan dugaan pemerasan oleh 43 anggota Polri di KPK.

D'On, JAKARTA
— Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) secara resmi melaporkan dugaan tindak pidana pemerasan yang melibatkan 43 anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan tersebut disampaikan langsung ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (23/12/2025).

Nilai dugaan pemerasan yang dilaporkan tidak kecil. ICW dan KontraS mencatat total kerugian mencapai Rp26,2 miliar, yang diduga terjadi dalam empat perkara berbeda sepanjang rentang waktu 2022 hingga 2024. Keempat kasus itu dinilai mencerminkan pola sistemik penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.

Empat Kasus, Pola Serupa: Kekuasaan Dijadikan Alat Pemerasan

Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menjelaskan bahwa laporan tersebut mencakup dugaan pemerasan dalam empat peristiwa utama, yakni:

  1. Kasus pembunuhan,
  2. Pemerasan terkait penyelenggaraan konser musik Djakarta Warehouse Project (DWP),
  3. Kasus pemerasan di Semarang dengan korban remaja,
  4. Pemerasan dalam perkara jual beli jam tangan mewah.

Menurut Wana, meskipun para terduga pelaku telah diproses melalui mekanisme internal kepolisian dan dijatuhi sanksi etik, hingga kini tidak satu pun dari kasus tersebut berujung pada proses hukum pidana.

“Empat kasus dan 43 orang yang kami laporkan itu sudah diketahui publik dan sudah dijatuhi sanksi etik oleh komisi etik kepolisian. Tetapi tidak pernah dikenakan sanksi pidana,” kata Wana kepada wartawan usai pelaporan.

ICW menilai kondisi tersebut mencerminkan kegagalan serius dalam penegakan hukum, khususnya ketika pelaku berasal dari institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas kejahatan.

Sanksi Etik Dinilai Tak Cukup, Berpotensi Jadi Preseden Buruk

Wana menegaskan, sanksi etik seharusnya tidak menghentikan proses pidana, melainkan justru menjadi pintu masuk bagi penegakan hukum yang lebih tegas dan akuntabel.

“Ketika tidak ada upaya pidana yang diberikan kepada penegak hukum, terutama anggota kepolisian, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum ke depan,” ujarnya.

Menurut ICW, pembiaran terhadap praktik pemerasan oleh aparat penegak hukum berpotensi memperkuat budaya impunitas dan melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

KPK Dinilai Berwenang Tangani Perkara

ICW menegaskan bahwa KPK memiliki kewenangan penuh untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Wana merujuk Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa KPK berwenang menangani perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

“Ini jelas masuk dalam kewenangan KPK karena melibatkan aparat penegak hukum dengan nilai kerugian yang signifikan,” tegas Wana.

ICW berharap KPK tidak ragu mengambil alih penanganan perkara demi memastikan proses hukum berjalan independen dan bebas konflik kepentingan.

KontraS: Pemerasan di Tubuh Polri Bersifat Akut dan Sistemik

Sementara itu, Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menilai dugaan pemerasan oleh aparat kepolisian bukan sekadar kasus individual, melainkan masalah struktural yang akut dan sistemik.

“Dalam konteks kepolisian, sering kali terjadi tindakan-tindakan koruptif dan pemerasan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum. Ini merupakan problem yang akut,” kata Dimas.

Menurut KontraS, praktik tersebut terus berulang karena lemahnya mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal, serta tidak efektifnya sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku.

Reformasi Kepolisian Dinilai Masih Simbolik

Dimas mengingatkan bahwa agenda reformasi kepolisian yang selama ini digaungkan berisiko hanya menjadi jargon apabila tidak disertai pengusutan serius terhadap praktik korupsi di internal Polri.

“Reformasi itu hanya akan sebatas simbol kalau tidak mampu mengusut permasalahan akut, terutama perilaku koruptif dan pemerasan yang masih terus terjadi,” ujarnya.

Ia juga menyoroti masih kuatnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam proses rekrutmen, pendidikan, hingga pengembangan karier di tubuh kepolisian.

Anggaran Besar, Pengawasan Lemah

KontraS turut menyinggung besarnya anggaran negara yang dikelola Polri setiap tahun. Menurut Dimas, tanpa pengawasan ketat dan penegakan hukum yang konsisten, anggaran besar tersebut justru rawan disalahgunakan.

“Pemerasan oleh aparat harus menjadi perhatian serius negara jika benar-benar ingin melakukan reformasi kepolisian,” tegasnya.

Desakan untuk Memulihkan Kepercayaan Publik

ICW dan KontraS sepakat bahwa pengusutan tuntas dan penghukuman pidana terhadap pelaku pemerasan merupakan langkah krusial untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Mereka mendorong KPK segera menindaklanjuti laporan tersebut agar menjadi preseden penting dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya di sektor penegakan hukum.

“Ini harus menjadi perhatian serius negara apabila mau melakukan reformasi kepolisian,” pungkas Dimas.

(T)

#KPK #KontraS #ICW #Pemerasan #Polri